Jumat, 15 Agustus 2008

Wajah yang Kita Warisi

Wajah-wajah itu kita kenal. Seakan mereka teman kita, tetangga kita, saudara kita, bahkan mungkin orang tua kita. Orang-orang yang terbiasa berkumpul dengan kita. Kita adalah kerumun orang yang sesekali saja berpisahan. Rasa akrab dalam rumah menyambung ke jalanan, ke lapangan, ke tempat mana pun juga. Kita berbagi senyum dan kesedihan dengan mereka. Dunia bagi kita adalah sebuah rumah besar. Seseorang tak pernah jadi seseorang: ia adalah orang ramai. Kita, yang memandang, perlahan-lahan menjadi mereka, yang dipandang. Tak terlalu sengaja kita menyimak mereka, sebab mereka tak menatap ke kamera, ke arah mata kita.

Tidakkah Rasdian A. Vadin, dengan rekaman hitam-putihnya, sedang memainkan rasa akrab itu? Memainkan: membuat kita merasa memilikinya lagi ketika seharusnya kita kehilangan, memaksa kita memikirkannya kembali sementara kita mesti melupakannya? Apa lagi yang tersisa kecuali rasa akrab—terkadang hampir semu juga—ketika kita pada hari-hari ini terpaksa menerima “rakyat” hanya sebagai barang yang hilang makna, kecuali sebagai alat bagi muslihat politik? Rekaman Vadin tak memberi kita “rakyat”, melainkan wajah-wajah yang mengalir lancar dalam keseharian, dalam kerja—meski kerja juga berarti permainan, atau pertunjukan.

Saya garis-bawahi kata “permainan” sebab “rakyat” yang tampil dalam pembicaraan umum, terutama dalam media massa, adalah wujud yang serius: wajah marah atau penuh belas, tangan terkepal atau terkulai, tubuh terlindas atau meradang-melawan. “Rakyat” yang tak kurang seriusnya ketimbang “elite”, sehingga kita bertanya tidakkah keseriusan ini juga tanda dari ketakmampuan melakukan rekreasi—masa penghiburan sekaligus penciptaan kembali? Sedangkan wajah dan tubuh yang terambil oleh Vadin adalah wujud yang cukup dalam dirinya sendiri. Wujud yang mestinya tak meminta dan menagih apa-apa dari luar: cukuplah kami berdiam di lingkung kampung, tak mengapa kausebut kami kampungan.

Seorang bidan menyimak perut seorang ibu yang mengandung. Kerumun penonton memandang acuh tak acuh dua penari. Dua orang anak bermain dengan si ibu dan si nenek. Seorang mempelai duduk ngungun di depan si penghulu. Dua badut sedang beristirahat. Potret-potret ini mengisah seakan tanpa kehadiran si fotografer. Semua menyisakan rasa akrab itu, justru karena mereka tak menatap ke arah kita. Kamera seperti sembunyi atau malu-malu untuk sekedar menegaskan bahwa apa yang kita miliki bukan puisi dan bukan pula demagogi, melainkan sekadar prosa kehidupan sehari-hari. Kita tak berjarak dengan kehidupan kampung: bahkan kampung itu berada dalam diri kita. Si fotografer hanya membangkitkan kembali wajah-wajah yang sudah lama tersimpan di laci kenangan kita.

Tapi tunggu sejenak. Menyimak lebih lanjut karya Vadin adalah menyiapkan diri untuk sekian kejutan halus. Si fotografer bukan pencuri gambar tanpa pretensi: ia ternyata tak membiarkan yang kampung(-an) itu hadir apa adanya. Komposisi—atau penyusunan imaji—adalah ciri yang hampir gampang kita kenali dalam karyanya. Ia seperti menunggu momen terbaik di mana sosok dan bayangan yang diburunya mencapai kombinasi terbaik. Atau momen itu tak ditunggunya, melainkan diciptakannya. Komposisi itu berpusat, bersandar, atau bertekanan pada barang (seni) rupa: misalnya, pintu bergambar panakawan, poster film murahan setengah porno, lukisan kapal layar, dinding yang digambari bendera dan wajah berpeci, iklan rokok, patung replika dewi Hindu. Sesekali terasa barang rupa ini dihadirkan atau dicomot dari luar, dari dunia entah. Sebagai penyelaras—atau pengganggu?

Paradoks itu bisa kita rasakan: benda rupa itu adalah penyelaras, bahkan penyangga komposisi, namun sekaligus pengganggu dunia yang dihadirkan Vadin. Ia seperti mengerjakan desain grafis: potretnya seperti kulit buku atau kulit majalah, yang harus rapi, setimbang, tapi seronok, “manyala” dalam kesederhanaan hitam-putihnya, agar khalayak tertarik untuk membaca isi kehidupan itu sendiri. Namun, benda rupa itu juga menisbikan, (atau mungkin membatalkan), lingkungan potret Vadin sebagai dunia yang cukup diri. Gambar Bagong di pintu itu, misalnya, agaknya tumpuan perhatian kita: ia seperti mengawasi si keluarga, atau melebih-lebihan keriangan yang muncul di rumah berdinding bambu itu. Juga, kenapa si penari itu harus menggendong boneka, seakan rias dan kostumnya tak cukup menandakan ia orang panggung? Bagi Vadin, yang sehari-hari mesti menjelma yang teatrikal.

Katakanlah Vadin tahu bahwa tak mungkin ia mendapat kepolosan dan kesederhanaan sebab setiap kampung mesti menerima banjir tanda dari luar—aneka benda rupa yang ditangkap sang kamera. Tapi sosok-sosok itu bukan korban dari sang tanda. Mereka menikmatinya, bahkan memperalatnya. Tanda gambar partai, poster film, gambar dinding, iklan mobil mewah—semua itu lebih baik dianggap sebagai kiriman dari dunia entah, mungkin dunia fantasi, ketimbang wakil dari negara, partai politik, atau kapitalisme. Kontradiksi antara yang kecil (kampung) dan yang besar (bangsa, dunia), yang rakyat dan yang berkuasa, dilunakkan atau dipiuhkan dalam main-main dan keakraban. Dunia dalam rekaman Vadin adalah dunia yang kehilangan telos—cita-cita sosial—maka itulah dunia yang tanpa risiko kalah atau menang. Tapi, lihat, tak selamanya ia bertahan pada dunia yang demikian.

Menyajikan yang teatrikal itu juga cara untuk berkomentar. “Reformasi”—alangkah klise kata ini sekarang—terlalu mahal untuk diladeni dengan kepolosan. Tapi Vadin tak pergi ke tengah peristiwa: ia mengelak dari apa yang selama ini sudah dimamah-biak media massa. Ia tak merekam baris-berbaris, pidato, teriakan, dan histeria lainnya. Ia memberi kita residu dari gerak dan suara serba besar itu. Residu: apa-apa yang menyingkir atau terbuang dari arti, tujuan dan manfaat. Bila sebuah potret demonstrasi atau rapat akbar tak membuat kita bertanya apa dan untuk apa peristiwa yang terekam itu, karya Vadin memaksa kita berlaku sebaliknya. Dengan kata lain, ia menisbikan arti sebuah peristiwa politik. Ia menonjolkan segi permainan, dan juga kesunyian, setiap tindakan yang, katakanlah, heroik.

Seseorang bertelanjang dada duduk membelakangi kamera, di belakangnya tergeletak sejumlah bom molotov. Pelempar bomkah ia? Atau cuma eksibisionis, lantaran yang menonjol adalah gambar di punggungnya? Seseorang berkeliling lapangan menjunjung lukisan Durrahman-Megawati: mengapa ia berkeliling sendirian, seperti pedagang lukisan atau wali gila? Sehimpun orang berdesak-desakan di bak truk: massa partai apakah mereka? Mengapa mereka termangu, kontras dengan tetanda gambar partai politik yang “berteriak” itu? Seseorang membungkam patung kepala Suharto: atau justru ia membuka bungkamannya? Mengapa ia tak menghancurkan saja patung itu? Mengapa ia berpentas tanpa penonton?

Komentar politik Vadin adalah anti-komentar. Poster, patung, orang-orangan, baliho, spanduk, emblem, seragam, yang dalam ruang publik sarat dengan arti politik menjadi hanya sekadar benda, benda rupa, dalam rekaman Vadin. Adalah benda, dan bukan manusia, yang menjadi pusat peristiwa dalam tangkapan kita. Benda-benda itu seperti minta bicara sendiri, sebab segala khotbah dan gagasan besar percuma saja. Tidakkah kita menyadari, bahwa manusia yang berniat mengubah dunia itu—demonstran, politikus, fanatikus, pemimpin, pengikut—pada dasarnya hanyalah orang kampung, seperti kita juga, yang di antara benda-benda itu begitu lelah, seraya pura-pura tabah, (seraya bermain-main), sebagai kerumunan, rakyat, bangsa?