Senin, 20 Oktober 2008

Jingga, Jingga




Saya kira saya datang terlambat. (Jakarta, dengan panas dan lembab dan bisingnya yang menyiksa, terlalu sulit buat ditinggalkan.) Mestinya saya tiba dua-tiga minggu lalu, di puncak musim gugur. Puncak: artinya udara belum terlalu dingin, dan dedaun kuning-jingga mengorak di mana-mana sebelum rontok perlahan. Sebelum kita bersiap-siap menyambut datangnya salju pertama atau kesiur angin es yang mengiris daun telinga. Memang, pepohon mapel di sekitar apartemen kami di Harvey Street sudah mulai gundul; atau, paling tidak, berdaun kuning-coklat. Tapi saya yakin di pinggir danau masih ada sejumlah pohon mapel yang saya nantikan benar-benar. Pepohon yang bukan sekadar benda, namun juga peristiwa. (Yang, kurang-lebih, pernah “mendesak” saya menulis 12 sajak bergaya haiku—tahun lalu, di Iowa City.)

Hari itu, begitu saya pulih dari letih-terbang, saya segera bergegas mengayuh sepeda hitam Schwinn saya. (Sepeda yang terlalu berdebu, karena saya tinggalkan terantai sendirian di halaman sejak tengah musim panas lalu.) Udara memang agak dingin, apalagi saya lupa mengenakan sarung tangan saya. Dari kejauhan, hutan mapel di Eagle Heights dan Picnic Point cenderung berwarna kekuningan, terkadang keemasan jika cahaya matahari menerobos dari celah awan. Saya lewati jalan pinggir danau itu lagi. Sudah beratus kali saya melewatinya. (Kami pernah tinggal di kota ini selama dua tahun menjelang 2000.) Danau begitu tenang dan kosong dan abu-abu. Masih banyak pohon berdaun hijau ternyata, sebelum mereka langsung menggunduli diri cepat-cepat sejak awal November nanti.

Di satu tikungan di jalan menanjak, saya temukan apa yang saya cari. Dua pohon mapel kekar tinggi berdaun jingga. Ya, jingga sungguh. Hari sudah lewat asar dan matahari tertutup awan, tapi tetap saja jejingga itu begitu kuat memamerkan diri. Saya mengayuh terus ke arah Memorial Union, berharap menemukan yang serupa di jalan ke sana. Ternyata tak ada. Saya kembali menyusuri jalan yang sama, ke arah yang berlawanan tentu. Kurang-lebih sejam kemudian, saya berada lagi di depan—atau di sisi—dua pohon itu, yang kini terterpa sinar matahari yang kuat menjelang senja. Sungguh, saya merasa layak memiliki musim gugur, meski untuk beberapa menit belaka. Ternyata saya belum terlambat. Meski saya tak yakin apakah saya mampu mengabadikannya. (Aneh, dalam bahasa kita “mengabadikan” adalah juga sinonim untuk “memotret.”) Sebab saya adalah seorang amatir. Yakni, dia yang berbuat bukan dengan teknik atau muslihat, namun rasa cinta.