Minggu, 14 Desember 2008

Surat Terang-Benderang

Teman-teman yang budiman,

Surat ini ditulis lantaran saya masih percaya, dan akan terus percaya kiranya, kepada pergaulan di dunia maya, khususnya di ranah Facebook ini, lebih khusus lagi jika pergaulan itu menyangkut rekan-rekan di bidang kesastraan dan kesenian.

Seperti anda ketahui, sejak tiga-empat notes yang terakhir, saya tidak men-tag siapapun. Dan akan begitulah seterusnya. Insya Allah.

Dengan demikian, sesiapa yang membaca notes saya adalah dia yang membaca dengan sukarela, dengan alasan apapun.

Secara sukarela pula saya menyambangi rumah maya teman-teman saya di Facebook ini, misalnya karena saya ingin tahu apa yang mereka tulis dan apa reaksi sidang pembaca terhadap tulisan mereka. Saya seorang penyigi yang akut, sebab saya ingin mengikuti perkembangan di bidang profesi dan minat saya.

Semakin saya sadari, bahwa saya tidak mungkin mengganggu anda (sekalipun anda adalah kawan akrab saya) hanya dengan mengirimkan petikan catatan harian atau nukilan riwayat hidup saya atau apa saja. Seperti saya katakan, datanglah ke rumah maya saya jika anda sempat; sila baca catatan saya jika anda ingin, dan sila buang jika anda meradang.

Apabila ada diskusi yang menarik di tempat anda, tentulah saya ikut. Meski dalam banyak kesempatan, saya ingin jadi penonton belaka, justru supaya saya lebih banyak belajar.

Maka saya heran jika saya dihimbau-himbau, bahkan ditarik-tarik, untuk ikut ke forum diskusi tertentu dengan pesan ke wall saya, seringkali pesan dengan tanda seru, bahkan tak jarang ditulis dengan huruf kapital semua.

Saya pun heran jika ada sejumlah notes dikirimkan dengan sengaja ke wall saya, hanya untuk mencibir—bahkan lebih dari mencibir—diri saya. Apakah sang pengirim ini tak yakin jika saya juga bisa membacanya sendiri di rumahnya? Atau ia justru menegaskan nilainya sebagai si tajam lidah—dan bukan si tajam pena?

Adapun gelanggang “berbalas komentar” itu seringkali “mencengangkan.” Saya bertanya-tanya, misalnya, bagaimana mungkin beberapa orang yang punya nama dalam bidang terkait, mengeluarkan umpat, cerca, belungsing, hujat, dan sejenisnya—yang sulit disebut komentar terhadap tulisan termaksud. (Saya mohon maaf jika saya pernah, satu-dua kali, mengeluarkan jawaban yang agak keras, tentu bukan makian, di dinding saya sendiri, tetapi itu saya tujukan kepada satu-dua teman dekat saya; artinya, salah-paham dengan cepat bisa diatasi.)

Mudah-mudahan jelaslah sekarang kenapa saya tak lagi mengirimkan notes ke dinding rumah maya siapapun juga.

Dan, saya kira anda sudah tahu bahwa note saya yang terakhir, “Surat Kertas Hijau Lumut,” yang terunggah minggu lalu, yang juga tak tercantol ke dinding siapapun, rupanya telah mengundang reaksi yang begitu berlebihan, yang sungguh tak wajar—yaitu penuh dengan umpat, cerca, belungsing, hujat, dan sejenisnya ke arah diri saya pribadi. Dan ini terjadi bukan di tempat saya, melainkan di tempat orang lain, yaitu Saudara Hasan Aspahani.

Seperti diketahui, note saya itu adalah satire yang mengarah ke dalam; ia tidak menyebut sesiapa yang ada di lingkaran Facebook saya, kecuali nama saya sendiri. Jika ia bersifat tajam, maka yang paling terkena tajamnya adalah diri saya sendiri.

Alangkah aneh jika sejumlah orang “terkena” oleh catatan saya itu. Jika demikian, catatan saya itu “meramalkan”; tapi kata ini tidak tepat; ia “meramalkan ke belakang,” yaitu mencandera kembali, secara tak langsung, lelaku mereka yang terkena itu. Yaitu, lelaku yang berhubungan dengan kiprah sastra saya, kitab puisi saya, dan sebagian situasi sastra Indonesia.

(Harus saya katakan, saya juga menerima sejumlah komentar untuk “Surat Kertas Hijau Lumut” di box saya: komentar yang serius, yang justru tajam karena tidak mengandung umpatan. Komentar inilah kiranya yang membuat saya menyiarkan note ini sesegera mungkin.)

Note Saudara Hasan Aspahani sendiri adalah reaksi yang masih masuk-akal terhadap note saya, namun patutlah disayangkan bahwa judul dan paragraf terakhirnya sangat pretensius dan menggerogoti isi tulisannya sendiri. Saya menduga judul itulah terutama yang memancing reaksi berlebihan terhadap diri saya pribadi—ya, sekali lagi, diri saya pribadi, bukan tulisan saya.

Jika anda sempat, bertandanglah ke rumah maya Saudara Hasan Aspahani: maka anda akan melihat bagaimana para “komentator” itu mengamalkan apa-apa yang sungguh bertentangan dengan tuntutan mereka sendiri di situ. Singkat kata, uar-uaran mereka menunjukkan “jati diri asli” mereka. Sila anda membuktikan sendiri.

Memang sukar dipercaya bahwa sebagian besar mereka adalah penyair dan penulis yang dikenal atau mulai dikenal di pentas nasional.

Saya pernah percaya bahwa diskusi di lingkaran Facebook ini lebih baik daripada di pelbagai milis dan blog, di mana banyak pelempar batu yang menyembunyikan tangan. Rupanya saya mulai keliru.

Seraya masih percaya pada pergaulan pikiran di Facebook ini, saya berharap kepada kaum pengumpat saya, yang adalah juga teman-teman saya di Facebook: bolehkah saya minta penjelasan kenapa anda begitu bersemangat menggaduhkan saya. Saya betul-betul berharap, dan menunggu jawaban anda segera—dengan cara apapun.

Kepada mereka yang sering mengirim notes yang sengaja mengolok-olok diri saya, saya juga bertanya kenapa anda begitu rajin bersoal-jawab dengan diri saya dengan cara yang penuh nafsu pula, itu pun dengan paksa menempelkan sesuatu ke dinding rumah saya.

Tentu saja penjelasan dan jawaban anda sangat penting, sebab, sekali lagi, saya masih percaya kepada pergaulan yang jujur dan terbuka di Facebook ini.

Tapi, tentu, anda punya hak untuk tidak menjawab. Seperti saya tegaskan, pergaulan kita, termasuk kehendak anda membaca notes saya dan memberi komentar, bersifat sukarela.

Baiklah, mungkin anda menjawab, mungkin juga tidak.

Atau, gampangnya begini: anda bebas melemparkan makian dan sumpah-serapah—tapi, tolong, jangan lagi di lingkaran saya. Jika demikian halnya, sudah waktunya kita berpisah. Anda menempuh jalan anda sendiri, saya menempuh jalan saya sendiri. Sebentar lagi, apa yang anda perkatakan bukan urusan kuping saya lagi, dan apa yang anda pertontonkan bukan urusan mata saya lagi.

Lingkaran Facebook saya harus menjadi lingkaran di mana anda tak terganggu oleh saya, demikian juga sebaliknya. Anda paham maksud saya, bukan?

Saya menghormati pergaulan di dunia minat dan profesi, yang bisa meluas ke dunia maya ini. Pembicaraan di dinding Facebook sama sekali tidak sama dengan pembicaraan antara dua orang di bilik terpencil. Dinding Facebook, bagi saya, selalu bersifat publik.

Demikianlah, dengan bantuan anda, saya akan mengecilkan lingkaran Facebook saya supaya gelanggang ini tetap hidup dan bermanfaat. Atau, izinkan saya menggunakan opsi remove from friends supaya hidup anda jauh lebih nyaman. Atau, mungkin lebih baik jika anda mendahului saya, daripada anda membuang waktu melempar olok-olok dan sumpah-serapah ke arah saya.

Terima kasih banyak atas perhatian anda. Salam hangat, —ND