Jumat, 23 Oktober 2009

Khatulistiwa


Penyelenggara Hadiah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) meminta saya, selaku pemenang untuk buku puisi tahun lalu, menulis komentar tentang penghadiahan itu. Berikut ini tanggapan saya, yang akan mereka muat dalam buku acara penghadiahan tahun ini:

Saya berharap Hadiah Sastra Khatulistiwa menjadi sebuah lembaga kritik sastra. Seraya mengangkat topi untuk Tuan Richard Oh dan kawan-kawan yang dalam waktu hampir satu dasawarsa ini berkeringat-dan-berdarah menyelenggarakannya dengan konsisten, saya sungguh berharap Hadiah Sastra Khatulistiwa menyadari tugasnya sebagai salah satu peletak standar mutu sastra.

Dalam kehidupan sastra yang sehat, terdapat aneka kritikus dan lembaga penilai yang bersaing satu sama lain dalam memantapkan standar mutu sastra. Sedangkan tanah air kita mengalami kelangkaan, kalau bukan ketiadaan, kritik sastra. Kelangkaan ini berpotensi memerosokkan kehidupan sastra kita ke dalam lautan desas-desus dan, akhirnya, ke dalam mediokritas. Saya berharap penyelenggara Hadiah Sastra Khatulistiwa menyadari situasi ini.

Sambil merangsang penerbitan buku sastra, Hadiah Sastra Khatulistiwa barulah dalam tahap menetapkan pemenang. Untuk menjadi lembaga penilai yang sebenar-benarnya, Dewan Juri Hadiah Sastra Khatulistiwa harus mengumumkan alasan pemenangan. Dan ini belum pernah terjadi, paling tidak sampai tahun lalu. Jika saja Dewan Juri beranggotakan tokoh-tokoh sastra yang berwibawa, maka putusan mereka belumlah berwibawa, karena mereka sama sekali tidak mengabarkan argumen mereka.

Namun tentulah alasan pemenangan itu mustahil dibuat, jika penjurian dilakukan seperti selama ini. Penjurian dalam tiga tahap—dan setiap tahapnya dilaksanakan oleh para anggota yang berbeda-beda, yang tidak bertemu muka, dan sekadar mengirimkan “surat suara” secara tertutup—memanglah tiada pernah melahirkan argumen.

Saya menduga, cara penjurian seperti itu dipilih untuk menghindari “elitisme”. Namun “populisme” semacam itu barulah manis di bibir belaka: belum berarti benar sumbangannya dalam mengembangkan jumlah pembaca maupun kehidupan sastra.

Singkatnya, penjurian harus diperbaiki dengan mendasar. Saya kira, yang paling tepat adalah mengangkat Dewan Juri yang bekerja dari awal sampai akhir: orang-orang yang sama, yang bertemu muka dan beradu pendapat untuk memutuskan karya mana yang layak menang. Mereka, yang mesti berjumlah ganjil itu, dipilih dengan asas profesional belaka—yakni mereka yang selama ini memang berada di medan sastra. Dan mereka harus mengumumkan argumen mereka—simpulan dari silang pendapat mereka tentang kenapa buku inilah yang paling unggul—ke depan publik. Hanya dengan itulah Hadiah Sastra Khatulistiwa akan menjadi sebuah lembaga penilai sastra yang kokoh dan berwibawa.

Hadiah Sastra Khatulistiwa haruslah menjadi alternatif terhadap berbagai lembaga maupun individu penilai dalam berbagai segi kehidupan kita yang menjalankan peran secara tak-rasional.

Senin, 12 Oktober 2009

Lawan dan Cermin


Seringkali saya merasa—dan mengaku—tak punya biografi, tapi hari ini saya sedikit berbahagia. Barangkali karena saya baru saja membaca dua esai yang bersungguh-sungguh, yang akan disajikan pada sebuah diskusi buku puisi minggu depan. Dua esai yang memberi harapan bahwa kita masih punya kritik puisi di tengah banjir gosip sastra yang menyaru sebagai “kritik sastra.” Dua esai yang membuat saya—ataukah “dia,” karena si saya tak punya riwayat lagi—mendekati kitab puisi yang diperbincangkan itu sebagai pembaca, bukan lagi sebagai pengarang.

Mungkin saya sedikit berbahagia justru karena menyadari yang serba-sedikit—yang sekadar dua buah—itu. Adapun yang banyak akan tetap membabi-buta. Sebagaimana biasa, sebagian besar kita akan tetap menyukai lautan mediokritas—tepatnya, mayoritas kita tak bisa membedakan mediokritas (kesedang-sedangan, atau kesemenjanaan) dari kecemerlangan. Jangan heran jika di tengah semua itu, “argumen” yang berlaku hanya bersifat ad hominem belaka.

Hari ini saya mungkin sedikit berbahagia, dan saya makin percaya bahwa riwayat pengarang memang tak diperlukan, kecuali demi statistika kependudukan belaka. Kritik sastra yang berdalih membicarakan karya sastra, tapi ternyata memperbincangkan pengarang, sesungguhnya hanyalah hamba—bisa juga disebut bayangan—karya sastra; inilah "tinjauan" yang sepintas-lalu menyombong, namun sesungguhnya begitu rendah-diri di hadapan karya sastra. Adapun yang saya baca hari ini, yang serba-sedikit itu, adalah kritik sastra yang menjadi pesaing sejati maupun cermin karya sastra. Kritik sastra yang sepenuhnya mengabaikan—kalau bukan membunuh—si pengarang.

Czeslaw Milosz percaya akan kepasrahan seorang penyair, yang menerima setiap puisi sebagai pemberian daimonion-nya. Jika saya tak percaya akan biografi si penyair, maka saya menganggap kepasrahan seperti itu sebagai lawan dari keakuan, egosentrisme romantik, yang memaksakan “pengalaman” diri-sendiri sebagai pengalaman pembaca; egosentrisme yang menjadikan dunia dan bahasa sebagai kendaraan belaka—kendaraan yang tidak bermartabat. Sekarang ini saya bisa berkata bahwa kepasrahan yang diuarkan Milosz adalah sebentuk kesadaran bahwa bahasa—artinya kekayaan bahasa—selalu lebih luas daripada sang pribadi.

Kritik sastra yang menjadi lawan sekaligus cermin karya sastra mengungkap bagaimanakah daimonion itu: yaitu daimonion yang bersifat material, bukan sederet danyang atau ruh, tetapi berbagai tradisi sastra yang menghantui puisi, yang memberinya peluang untuk menggarap wilayah di antara yang mungkin dan yang mustahil. Kritik sastra yang menghamba mudah sekali menyimpulkan—memaksakan—“pembaharuan,” tetapi kritik sastra yang menjadi lawan-dan-cermin karya sastra mengeksplisitkan rangka dan daging karya sastra.

Hari ini saya mungkin berbahagia, ketika menyadari bahwa “pembaharuan” sudah menjadi barang rongsokan, dan bahwa si “pembaharu” ternyata hanyalah setitik debu di tengah berbagai sejarah sastra di dunia ini. Hanya jika kita meremehkan biografi, atau otobiografi, kesadaran semacam itu terselenggara. Maka—tidaklah si penyair mencari tempat dalam sejarah sastra atau politik sastra. Puisinya belaka yang mengundang lawan sekaligus cerminnya.

Minggu, 04 Oktober 2009

Darah (2)


Bertahun-tahun lalu saya menyadur sebuah sajak karya Kryzysztof Karasek. (Sajak itu, pernah termuat di sebuah harian Yogyakarta, juga di sebuah antologi stensilan terbitan Dewan Kesenian Jakarta, yang saya temukan kembali baru-baru ini.) “Darah Kata,” demikianlah judul sajak itu. (Saya tak berhasil menemukan kembali terjemahan Inggris sajak si penyair Polandia itu, yang termuat di jurnal Partisan Review sekitar akhir 1980-an.)

Menurut sajak saduran (yang berbentuk puisi-prosa) itu, “Darah kata menghilang jika darah sebenarnya tumpah ke jalan-jalan.” Lebih lanjut lagi, jika darah kata menghilang, maka buku-buku pelajaran menjadi pucat, dan koran-koran menderita anemia.

Saya tertegun membaca kembali baris-baris itu. Dulu (ketika usia saya masih sangat muda), barangkali, ketika menyadur sajak itu, saya mengira bahwa “perjuangan” lebih penting daripada “kesenian,” dan bahwa “realitas” lebih kuat ketimbang bahasa. Kini saya menganggap darah kata tidak lebih lemah ketimbang degup darah dari tubuh kita.

Menurut sajak saduran itu lagi, “Betapa tak indah darah kata itu, sebab ia telah menghidupi puisi dan tata bahasa.” Pada bagian akhir, sajak itu menganjurkan, “Belajarlah mengendus bercak-bercak darah yang membekasi halaman-halaman buku sejarah dan buku tata bahasamu. Belajarlah membaca jeritan-jeritan kalimat yang ditindas, kalimat-kalimat yang pernah berkobar oleh aliran darah kata.”

Kini, pada waktu membaca puisi atau tulisan apapun yang menderita kurang-darah, kita bisa menyimpulkan bahwa si penyair adalah dia yang terbelah oleh bahasa dan realitas, oleh kata dan pengalaman. Dia mengira bisa memperalat bahasa demi menyampaikan keharuannya; dia mendesakkan perihal pribadinya sebagai perihal umat manusia. Tapi jika demikian halnya, maka dia pun terbunuh oleh bahasa; keharuannya adalah milik dia sendiri, dan degup darahnya tak kunjung menjadi darah kata.

Jika darah sejati tumpah ke jalan-jalan, maka keharuan saja tidak cukup. Di tengah leluka umat manusia, di depan darah yang menjalar ke kaki kita, kita menunda puisi dan menyingsingkan lengan baju. Jika saatnya tiba, kita mencari puisi lagi untuk menghayati leluka umat manusia. Untuk itulah puisi memerlukan darah kata, darah yang hanya bisa dihidupkan jika kita tak memperalat bahasa, hanya jika si penyair menyelami kembali tradisi sastra, yang hadir jauh lebih dahulu ketimbang dia.

Ketika si penyair memandang masa mudanya, dia pun perlahan-lahan tahu bahwa darah kata tak bertentangan dengan darah yang tumpah di jalanan. Mungkin dia merasa bersalah tak bisa terlibat dalam semua momen bersejarah di dunia ini. Tapi dia menyimak dalam-dalam—untuk mengutip Karasek—“kalimat-kalimat yang ditindas,” seraya mengabaikan diri-penyairnya dan hidup belaka sebagai orang ramai, dan, pada saat yang semestinya, pulang ke laboratorium untuk menemukan—menghidupkan—kembali darah kata.

Minggu, 20 September 2009

Darah


Para penyair, bahkan penyair terkini, barangkali gemar sekali mengatakan bahwa mereka menulis berdasarkan ilham. Tapi kita tidak tahu apakah mereka berdusta atau tidak. Kita hanya tahu apakah mereka mengerjakan puisi atau tidak, apakah mereka bergulat dengan bahasa atau tidak. Yang jelas, tidak ada Tuhan atau dewa-dewa yang bicara kepada mereka, membisikkan apa-apa yang harus mereka tuliskan ke atas kertas kosong. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah puisi mereka.

Hanya dengan puisi itulah kita bersoal-jawab. Sebuah puisi adalah sebuah artefak, yang membuat kita bisa menciptakan sejenis “arkeologi pengetahuan.” Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa. Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan—maafkan saya, jika saya gunakan istilah berikut ini—“kepribadian” si pembuatnya. (Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham.)

“Kepribadian” itu tidak datang dari pertapaan di gua-gua atau lingkungan pergaulan lisan yang membangga-banggakan pencarian romantik penyair. Jika seorang penyair menjadi mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak samudera raya, terngeong di depan lanskap kota besar, atau terhisap oleh kekosongan angkasa luar, boleh dikatakan bahwa ia mabuk dan terbuai sebagai manusia biasa saja, artinya sesiapa boleh saja mengalami “pengalaman batin” semacam itu—pengalaman yang belum pasti akan menjadi sebuah artefak kata-kata. Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata.

Nyatanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya. Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin. Bila ia mengolah yang mungkin ini, ia bisa pula menemukan yang mustahil—yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya. Dan boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. Ia tahu, jargon “pembaharuan” hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah.

Adapun lingkungan bahasa itu dalam artinya yang pertama tentulah lingkungan bahasa yang membesarkannya—bahasa ibu, atau bahasa nasional. Namun lingkungan ini tidak dibatasi oleh benteng-benteng apapun. Lingkungan ini selalu ditembusi—alhamdulillah!—oleh aneka artefak, jasa, bahasa, isyarat, makna, citraan, dari mana saja, dari seluruh buana. Di ruang studinya, sambil meragukan setiap kata dan frase yang mengejarnya, yang membuat ia mengerjakan puisinya, ia sesungguhnya bercakap-cakap dengan lingkungan sastra seluas mungkin yang bisa dijangkaunya. Tapi dengan itu pula ia menetapkan seberapa jauh ia bisa menguji model-model apa yang mungkin dan yang mustahil.

Ironis sekali—bahwa ketika kita pembaca merasa menemukan “kepribadian” si penyair dalam puisinya, ia justru terus-menerus meragukan kepribadiannya sendiri. Berhadapan dengan jejaring tulisan yang menantangnya secara terus-menerus, ia justru kembali kepada kepada kekuatan bahasa itu sendiri, kepada kata dan frase yang menuntut gerak sendiri, kepada “nafsu” mereka untuk berbenturan—dan berjalin-kelindan—dengan kata dan frase yang lain. Ia bukan bersikeras mempertahankan kepribadian sendiri. Ia mengerjakan puisi, tidak untuk menunjukkan ke-aku-annya, tetapi untuk melenyapkan sosok pribadinya sendiri. Supaya pembaca nanti melihat bukan darahnya, darah pribadinya, tapi darah kata-kata.

Senin, 29 Juni 2009

Intermezzo: Catatan Tigor Ioannes Hutahaean (1)


Pulang dari forum baca-puisi—atau pertemuan penyair—di Guadalajara dan Belo Horizonte, penyair Tigor Ioannes Hutahean menulis di catatan hariannya. (Seperti biasa, setelah penerbangan panjang, asam lambungnya naik, mengganggu pankreasnya dan membuat migrennya kambuh berat, dan ia sudah tiga hari ini banyak berbaring di tempat tidur sambil melengketkan diri pada saluran Animal Planet di televisi. Makanan utamanya adalah pangsit kuah dan tahu baso yang dipesannya dari Bakmi Gajah Mada; ini sudah tentu makanan yang keliru bagi penderita tukak lambung kronis.) Ia tidak ingat tanggal dengan baik, ia hanya merasa hari itu hari Sabtu. (Adapun kita juga tidak tahu sudah berapa lama ia tiba kembali di tanah air; tapi kita tahu penanggalan—18 Agustus sebuah tahun kabisat—ketika ia menulis catatan di bawah ini):

Manuel Lazaro Blanco, teman yang paling menjengkelkan. Ia pantas dipanggil musuh. Atau iblis. Bahkan anjing. Aku hampir meninju mukanya ketika ia berkata bahwa Ubud termasuk desa paling membosankan di dunia. Ia nyaris meludahiku ketika kubilang Cuba Libre bagiku terasa seperti kencing kuda. Sayang ia penyair yang cemerlang. Dan ia tampan pula: dari samping ia tampak seperti Kristus (bukan Lazarus!); dari depan, ia mirip Gael Garcia Bernal, tapi dengan rambut kriwil menjuntai ke bahu. Seusai membaca puisi di panggung, cewek-cewek selalu menguntitnya (meski suaranya terlalu ringan, nyaris tak bisa menggemakan puisinya). Pernah aku mengira bahwa para pengagum itu hanya ingin menghisap ototnya, tapi, ternyata beberapa sungguh-sungguh mampu menceritakan kembali sajak-sajaknya (bukan kebetulan, sebuah sajaknya pernah dipakai sebagai pembuka film Anjing Oaxaca garapan Estanislao Schramm, yang melambung tinggi di antara kaum indie). Sayang ia, sekali lagi, penyair cemerlang. Maaf, aku sedikit keliru. Puisinya cemerlang, sedangkan penyairnya sendiri, orangnya maksudku, layak dilupakan. Bagiku, puisinya seperti menggabungkan pengaruh Günter Eich, Amir Hamzah, dan Nicanor Parra. Bagaimana mungkin? Tapi begitulah yang kuresapkan sendiri, paling tidak dalam terjemahan Inggrisnya. (Terima kasih kepada Charles Damien Hass, yang sangat berhasil menerjemahkan Amir Hamzah ke Inggris, terjemahan yang kiranya mencapai para tukang syair seperti Manuel Lazaro Blanco.) Ia, yang lahir dan bermasa kanak di Uruguay dan kini tinggal di wilayah Costa Brava, Spanyol, bagiku tergolong penyair pelanduk. Aku benci sekali bahwa tahun depan kami akan bertemu lagi di Cape Town atau Macau.

Ya, penyair pelanduk. Aku bertanya-tanya siapa penyair pelanduk di negeriku? Aku tiba-tiba tersadar bahwa kaum penyair di negeriku, sebagian besar mereka, dapat digolongkan sebagai burung merak dan bengkarung. Aku harap diriku tidak termasuk ke dalam golongan manapun, sebab aku layak dilupakan. Karyaku pantas dilupakan. Yang aneh, para penyair yang merasa karyanya akan kekal-abadi itu selalu saja cemburu padaku. Setahun ini dua-tiga kubu pengulas bertengkar seru tentang buku puisiku yang terakhir. Percayalah, pujian hanya membuatku mual, dan kecaman hanya membuatku tertawa ngakak seperti iblis terakhir.

(bersambung)

Kamis, 04 Juni 2009

Intermezzo: Beting


Terima kasih atas segala pengharapan Abang. Tapi tolonglah tambahkan ke dalam doa Abang supaya kami diberi kesehatan dan rejeki yang baik. Janganlah Abang anggap kami ini lebih banyak ruh daripada daging. Janganlah pula Abang terlalu berharap bahwa saya akan datang ke depan Abang nanti dengan dua ton naskah baru. Memang banyak saya menulis—dan sebagian sudah saya perlihatkan pada Abang—tapi sebagian besar akan saya simpan dalam laci saya sendiri saja. Mudah-mudahan Abang sabar. Pada waktunya saya akan meminta saran Abang bagaimana menyunting dan menyusun-ulang sebagian tumpukan naskah saya.

Saya akan segera memberi tahu Abang kalau kami sudah dekat pulang (tentu dengan harapan, Abang menjemput kami di pelabuhan udara). Pastilah saya sangat girang bahwa sering Abang menengok Gato, kucing Persia kami yang sudah tua renta itu; tolonglah, periksakan dia ke dokter hewan di Fatmawati itu, siapa tahu kuping kanannya bernanah lagi seperti tiga tahun lalu. Adapun titipan Abang sudah saya cari dan kumpulkan. Maaf, tidak bisa semuanya; akan terlalu berat jinjingan kami nanti. Yang penting-penting pasti kami dapat. American Poetry Review, Poetry, Juxtapoz, dan Art in America—setahun terakhir (saya desak Abang, nanti kita berlangganan saja deh, tidak mahal kok, apalagi kalau teman-teman juga ikut iuran!). Biar hati Abang sedikit panas, baiklah saya beritakan serba-sedikit di sini: di Poetry edisi April 2009—Translation Issue—ada terjemahan baru sajak Günter Eich yang Abang suka, “Inventory,” kerjaan Joshua Mehigan (sedangkan yang Abang selalu baca adalah versi Charlotte Melin); ada juga terjemahan sajak Víctor Terán, yang menulis dalam bahasa Zapotec, Mirza Asadullah Khan Galib (bahasa Urdu), dan Diakwain (bahasa /xam di Afrika Selatan); tiga yang terakhir ini pas dengan minat Abang, yang sedang mencari-cari sastra dunia yang lain, bukan sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas imperia. Adapun novel dan buku puisi cukup banyak, daftarnya akan segera saya sampaikan pada Abang.

Beberapa kali saya sempat menengok bekas apartemen Abang di Eagle Heights—nomor 812. Ya, masih seperti dulu. Bangunan tak berubah. Juga pohon mapel yang kekar dan tua itu. Di bawahnya dulu kita sering bikin makan-makan untuk teman-teman pada musim panas. Sudah berapa tahun berlalu? Jangan bilang kita sudah menua. Abang bersumpah tidak mau kembali ke mari, ke kota yang tumbuh di beting di antara dua danau ini karena, kata Abang, “Mana mungkin aku kembali ke kampung halaman kedua? Kita hanya layak kembali ke kampung halaman pertama.” Tapi saya kembali lagi; bukan untuk bernostalgia, tapi untuk hidup. Kalau saya bersepeda di pinggir Mendota, atau bergegas dengan kaki di jalan setapak ke arah Picnic Point, saya seperti merasa tidak pernah meninggalkan kota ini. Memang saya tidak kembali ke kampung halaman kedua; saya hanya beruntung menancap kembali ke tempat-tempat di mana saya pernah tinggal agak lama, untuk menghayati betapa sebentar masa kita di dunia—dan betapa kita bersyukur untuk masa yang sebentar itu. Tapi percayalah, Abang, saya sudah banyak berubah sekarang. Misalnya saja, Abang akan heran bahwa saya menjadi pelihat burung; sekarang saya tahu burung apa yang lewat di depan mata saya; saya tahu, misalnya, gerombolan burung hitam bersayap merah (Agelaius phoeniceus) merajai padang gelagah di pinggir danau; burung kardinal merah berjambul (Cardinalis cardinalis) adalah makhluk soliter yang suka bersembunyi di gerumbul daun; dan angsa Kanada (Branta canadensis) membesarkan anak-anaknya di telaga-telaga kecil yang tak disentuh manusia. Saya membeli teropong Nikon Travelite V (9x25 CF), supaya makhluk bersayap itu lebih terasa lebih dekat ke mata dan ke jantung hati; dan kini—ini pasti Abang susah percaya—saya lebih suka membeli buku tentang burung daripada buku tentang seni rupa. Akhir minggu ini, kami berencana pergi ke Horicon Marsh, tempat aneka burung singgah dalam migrasi mereka demi cuaca yang lebih sejuk ke Utara.

Musim semi datang terlalu cepat—atau lebih tepat, tidak berjalan baik. Suhu turun-naik tanpa kendali, bergerak di antara 50 F dan 80 F (pertengahan April sudah terasa panas, misalnya, tapi hari kemarin cuaca merosot ke bawah 60 F lagi). Sehingga, pohon kembang kesukaan Abang, tulip tree (ingat, Bang, ini bukan magnolia!) dan crabapple (ini bukan cherry blossom!) tidak berkembang dengan baik; kembang-kembang itu kurus, pucat dan lekas gugur, dan daun-daunnya terlalu lekas lebat; bahkan sekian banyak tulip tree yang ada di Arboretum juga terlihat lesu-bunga; sedangkan tetampuk crabapple di lapangan di depan Memorial Union terlihat jauh lebih kusam kecoklatan. Namun, daffodil, narkisus, lili, tulip tetap kembang-kembang yang keras kepala—artinya, tak terlalu peduli pada suhu—tetapi juga tidak bisa pamer diri sebaik tahun lalu. Lilacs pun tidak terlalu bersemangat menyemburkan warna ungu-merahnya, meski wanginya tetaplah cemerlang (nah, Abang, kalau saya berdiri di depan pohon lilacs, saya ingat Abang yang tetap saja heran kenapa T.S. Eliot menulis “April is the cruelest month, breeding/Lilacs out of the dead land—”; dan Abang lebih heran lagi, kenapa Harold Bloom nyaris mengabaikan penyair ini sama sekali). Sekarang ini, pasti Abang ingat, awal Juni, adalah giliran iris dan peoni; ya, iris, yang kata Abang ibarat gaun yang tidak memerlukan tubuh perempuan, gaun yang cukup dengan dirinya sendiri, yang seperti melungsur jika terlalu lama dipandang; dan peoni, yang buat saya adalah satu-satunya kembang yang lekas bosan dengan tampuknya sendiri, seperti ratu yang lelah oleh kecantikan dan kenikmatannya sendiri (hari ini saya lihat sejumlah tangkai peoni mulai lengkung-runduk ke tanah, diberati oleh tampuknya yang besar-layu).

Dan “kampung halaman kedua” yang tidak akan Abang kunjungi ini, makin banyak lagi punya makanan dunia. Tadi kami pergi makan ke sebuah restoran Thai yang baru buka di East, tepatnya di Fair Oaks Avenue; kami simpulkan, ini restoran terbaik untuk jenisnya di sini, setelah kami tandaskan tom kha, salad cumi-cumi dan ketan mangga. Begitulah kabar kecil dari kami, Abang. Dan, tentulah saya sangat girang bahwa Abang sudah membeli beberapa buku puisi yang banyak terbit enam bulan terakhir ini di tanah air. Tolonglah ceritakan apa hasil pembacaan Abang. Tapi jangan lupa memberi saya saran apakah dua sepeda Schwinn kami layak dibawa serta ke Jakarta. Salam hangat buat keluarga Abang.

Senin, 01 Juni 2009

Intermezzo: Naik Haji, Naik Kelapa


Bahasa kita punya cara yang nyaris ajaib dalam menciptakan frase yang tampaknya saja mudah dipahami. Frase yang saya maksud adalah gabungan dua kata, katakerja dan katabenda, misalnya saja “naik haji.” Dalam kesempatan ini saya akan menggamit sejumlah frase yang mengandung “naik.”

Tentu saja, “mudah dipahami” berarti semua orang bersepakat tentang artinya. “Naik haji,” misalnya, tidak mengandung arti lain. Tidak juga kita peduli apakah frase itu menyalahi kaidah nahu.

Tapi apakah anda tahu apa itu “naik kelapa”? Ini adalah ungkapan yang banyak dipakai di Sumatra atau wilayah-wilayah lain yang terkena pengaruh bahasa Melayu. Dan kalau anda tidak akrab dengan pohon kelapa atau kebun kelapa, anda tak paham apa arti frase itu.

“Naik kelapa” adalah naik ke—atau menaiki—pohon kelapa. Tentu saja, tindakan ini bertujuan. Yaitu, untuk memetik buah kelapa.

Lebih gamblang lagi, “naik kelapa” adalah pemendekan “naik ke pohon kelapa untuk memetik buah kelapa.” Kita lihat, di sini terjadi penghapusan beberapa kata, juga awalan dan akhiran.

Tentang “naik gunung” kita tak bertanya lagi, meski itu seharusnya berbunyi “naik ke gunung” atau “menaiki gunung.” Jelaslah, di sini ada penghapusan awalan “me” dan akhiran “i” atau kata “ke.”

Bagaimana dengan “naik haji”? Mungkin, karena kita sudah sama-sama mengerti—tepatnya, menyepakati—artinya, kita akan mudah menelusuri duduk perkaranya. Ternyata tidak. Frase ini jelas bukan pemendekan “menaiki haji” atau “menaikkan haji.”

Kalau kita pertimbangkan segi keagamaan, maka “naik haji” boleh berasal dari “naik ke rukun Islam yang paling tinggi, menunaikan ibadah haji.” Kata “naik” bisa juga mengandung makna “naiknya kadar iman,” juga “naiknya status sosial” seseorang yang berhaji. Tapi saya curiga, bahwa frase “naik haji” tercipta pada masa yang lalu ketika orang masih harus “naik kapal” untuk melaksanakan ibadah haji.

Atau “naik” bisa juga berhubungan dengan posisi Nusantara terhadap Saudi Arabia. Pergi ke Mekah adalah pergi ke arah utara, tepatnya utara-barat (barat laut). Dan dalam peta, utara itu ada di atas. Jadi, “naik haji” adalah “naik ke Mekah, untuk berhaji.” Atau, dengan konotasi religius, maka pergi ke Mekah itu adalah berangkat—meningkat secara ruhaniah—dari arah bawah (Nusantara, yang bukan tanah suci, yang sekadar punya Serambi Mekah) ke atas, ke Kota Suci.

Kalau orang bilang “penyanyi itu sedang naik daun,” maka kita sudah paham maksudnya. Tapi saya bertanya, dari mana itu frase “naik daun”? Si penyanyi sudah pasti penyanyi baru, atau penyanyi muda. (Tidak ada penyanyi tua yang dikatakan “naik daun.”) Mungkin ia mirip kuncup daun, atau daun muda: daun yang sedang mekar. Tapi, ke arah mana si daun tumbuh—ke samping atau ke atas?

Ya, tentu saja kita bisa membayang-bayangkan bahwa daun tumbuh ke arah atas—tapi bukan selembar daun, melainkan himpunan daun dalam sebatang pohon. Jadi “naik daun” boleh jadi adalah representasi dari si pohon, pohon muda, yang tumbuh terus ke arah atas, seperti naik ke langit, guna mencapai kedewasaan. Seperti juga si penyanyi.

Atau, kalau kita berani berspekulasi, “naik daun” itu bisa juga setara dengan “naik gunung.” Maka, “naik daun” adalah “menaiki daun.” Lantas kita mafhum, bahwa yang suka naik ke daun-daun itu adalah ulat. Akhirnya kita tercenung, apakah si penyanyi itu seperti ulat. Imut-imut, tapi juga bikin gatal. Bikin gatal tapi perlu.

Tapi ada mungkin di antara anda yang berkata bahwa “naik daun” itu memang ungkapan dari daerah tertentu yang sudah diterima oleh penutur bahasa Indonesia. Ungkapan yang menunjuk kiprah si Polan naik menuju ketenaran dan kejayaan. (Adapun mereka yang menggunakan “naik kelapa," punya juga “naik rumah baru”—housewarming, kata penutur Inggris.)

Sementara itu, meski ada “turun gunung,” kita tahu tak ada “turun daun” dan “turun kelapa.” Tapi, paling tidak, kita tahu betapa tak sederhananya asal-usul frase-dua-kata dalam bahasa kita. Mungkin kita, selaku pengguna bahasa, harus segera “turun mesin.” Kalau tidak, kita tak bisa “naik kelas,” apalagi “naik pangkat.”

Kamis, 21 Mei 2009

Intermezzo: Sastra Dunia?


Kawan, kudengar lagi sejumlah sejawatmu menganjurkan kita, para warga sastra, untuk menyoalkan sastra dunia; menyoalkan secara positif tentu. Apa yang bisa petik dari sastra dunia, apa yang bisa kita berikan kepada sastra dunia. Tapi, saya kira, yang mereka maksudkan sebagai sastra dunia itu adalah best-selling books belaka. Sastra dunia yang mereka tunjuk-tunjuk itu, tanpa mereka sadari, ternyata sempit sekali.

Dan kisaran buku laku sastra dunia yang mereka aspirasikan itu sungguh jauh lebih sempit lagi. Yaitu buku-buku menurut pasar Amerika Serikat, yang juga mengimbas ke sejumlah toko buku di Jakarta dan Singapura. Misalnya saja, karya pemenang Nobel asal Amerika Selatan atau Turki. Atau nama-nama yang juga sempat berbau harum karena tersangkut “wacana pascakolonial”—seperti para penulis asal India, tapi jelas bukan Danilo Kis. Juga bukan, misalnya, Roberto Bolaño, yang saya kira tak akan laku di negerimu.

Nama-nama yang hanya muncul di jurnal-jurnal dan majalah-majalah kecil dan buku-buku keluaran penerbit kecil dan university press, sudah pasti tak masuk tangkapan para “pengagum sastra dunia” itu.

Pasar tentu tidak jelek, tapi perlu kita curigai habis-habisan perangainya. Di negeri di mana saya tinggal sekarang, banyak sekali yang mestinya bisa laku tapi ternyata tidak. Misalnya saja Le Clézio, yang barusan memenangkan Nobel, jelas tiada bergema. Para pemenang Premio Rómulo Gallegos dan Prix Goncourt juga tidak berbunyi. Banyak pemenang Booker Prize juga cuma numpang permisi. Kesimpulan saya: sastra dunia itu ditentukan oleh pasar, tapi pasar juga terbagi-bagi menurut wilayah bahasa dan sejarah sastra terkait. Tidak ada pasar dunia, dalam arti pasar yang bisa bertukar-seimbang mata jualan sastra di masing-masing ranah bahasa-bahasa eks-imperia, jangankan bahasa-bahasa di luar itu.

Sastra dunia itu luas tak terhingga, Kawan. Dan kalau kita pasrah kepada pasar, maka kita akan perlahan membutakan diri. Sebab, dalam apa yang bernama sastra dunia itu lebih banyak yang tersembunyi. Yang di pasar itu cuma puncak gunung es. Untuk mencari tubuh gunung es itu, sebagian saja, sebagian kecil bahkan, kita memerlukan cara dan muslihat tersendiri (esok kita diskusikan soal ini). Di tanah air kita, di mana universitas sangat terbelakang dan perpustakaan sejati tak kunjung ada, kita semakin tumpul dalam mencari apa-apa yang tersembunyi itu.

Singkatnya, engkau harus menemukan sastra dunia menurut kebutuhanmu sendiri. Jangan jadi pengagum, jadilah pencuriga. Kalau engkau mengelirukan sastra dunia dengan best-selling books, engkau seperti katak hendak jadi lembu. Kita harus menyempitkan sastra dunia, tapi menyempitkannya dengan sadar, lebih tepatnya menentukan fokus perhatian setajam-tajamnya—memilih model-model yang bisa tunduk ke dalam aspirasi sastra kita. Dan model-model itu bisa jadi datang dari nama-nama—tepatnya, karya-karya—tersembunyi, yang tidak ada di pasar; bisa juga sesuatu yang sama sekali ada di bawah hidungmu, di kampung sendiri dan kampung-kampung tetangga, yang sayang sekali tak pernah kautengok.

Dan akhirnya, Kawan, janganlah memproyeksikan dirimu ke sastra dunia. Maksudku, janganlah memantas-mantaskan dirimu berdiri di sebelah para penulis best-selling itu. Karyamu yang cemerlang adalah karya yang kaubuat ketika engkau memusatkan diri kepada bahasamu, materimu yang paling dasar. Jangan jadi pengagum, karena pengagum itu hanya berjarak seujung rambut dengan pengekor. Sudah ada sejumlah sahabatmu yang menjadi pembuntut novelis Kolombia itu; ada, misalnya, sejenis pengulas sastra yang kepalanya dipenuhi karya si Kolombia (tentu lewat terjemahan Indonesia), sehingga ia tergelincir oleh sastra dalam bahasanya sendiri: ia tidak sanggup membaca—atau ia memang tidak pernah membaca.

Maksudku, betul-betul membaca. Bukan membolak-balik halaman buku. Maka, untuk sementara ini, mari kita bunuh si sastra dunia.

Selasa, 12 Mei 2009

Intermezzo: Surat untuk B



(Mohon maaf. Surat ini menyela penantian anda, sidang pembaca, akan lanjutan Kitab dan Senjata, yang nomor keempatnya akan terunggah segera setelah ini.)

Bung, saya urung mengirim-teruskan tulisan anda ke rekan-rekan terpercaya saya; sebab, terus terang saja, saya khawatir mereka akan “mendahului” (atau “mencuri”) gagasan anda. Kalau tulisan anda sampai ke tangan beberapa orang sebelum ia terbit, saya harap anda sendirilah yang menyebarkannya. Saya kira, sampai surat ini ditulis, tulisan Bung adalah telaah paling serius terhadap kitab puisi saya, maka wajar kiranya banyak orang akan cemburu terhadap tulisan anda, dan berusaha “melebihi”-nya.

Sejumlah telaah terhadap kitab puisi saya, baik yang sudah terbit di media massa maupun beredar di internet, lebih banyak berupa tembakan berbau ad hominem. Atau, paling kurang, para “pengulas” itu menghubungkan puisi saya dengan apa yang pernah keluar dari mulut saya (maka, mulut saya pun mereka buat lebih menonjol ketimbang kekaryaan saya). Ada, misalnya, telaah yang berusaha menghubungkan puisi saya dengan “puisi dunia,” tapi ketika saya bertanya langsung kepada si pengulas, kenapa ia begitu ragu-ragu menilai, ia menjawab, kurang lebih sebagai berikut, “Saya harus berhati-hati supaya saya tak dianggap bagian dari lingkaran Bung.”

Lingkaran saya? Sejak kapan saya punya lingkaran atau komplotan? Jadi, begitulah, Bung, lagi-lagi “pertimbangan” ad hominem. Tampaknya mereka takut, atau belum kunjung masuk ke dalam puisi saya. Belum mampu membunuh si pengarang. Hanya “merasa-rasai” puisinya belaka (bahasa Jawa: ngrasani).

Saya sudah ceritakan perihal tulisan anda ke H saja, yang selalu saya katakan sebagai salah satu pengamat puisi terbaik di negeri kita; sayang, sayang sekali ia tidak menulis, ia hanya seorang komentator yang tajam di lingkaran lisan teman-teman saya. Jika ia berminat, saya harap ia meminta langsung tulisan itu ke anda (saya berikan akun email anda ke ia).

Saya sendiri membaca tulisan anda lagi dan lagi, dan ini tentulah menggugah saya berpikir lagi tentang puisi. (Tentu, terhadap kitab puisi saya sendiri, saya hanya bisa berdiri sebagai salah satu pembaca belaka.) Ada banyak hal menarik dari paparan anda yang layak didiskusikan di kalangan pembaca kritis kita, antara lain beberapa butir berikut ini—

Tentang kesempurnaan bentuk dan komposisi, saya ingin mengatakan bahwa sebagian besar puisi indonesia (terutama dalam tiga dasawarsa terakhir) sama sekali tidak inderawi, tidak sensual—tidak menampilkan pengalaman kebertubuhan—karena mengabaikan bentuk, atau terlalu percaya pada “kebebasan bentuk.” (Saya sudah katakan berkali-kali, bahwa kebebasan mencipta itu tidak ada, kecuali kalau ia dipahami dalam lingkup disiplin seni. Kaum surrealis tak terkecuali. Automatic writing itu cara, bukan tujuan. Automatic writing dilaksanakan kaum surrealis untuk mendapatkan jukstaposisi maksimal, sementara dalam penyusunan kalimat mereka itu tertib sekali. Jadi, Bung, sejumlah orang yang mengira saya emoh pada licentia poetica itu keliru sama sekali; oh, maaf, mereka harus belajar membaca lagi.)

Kalaupun ada komposisi, atau sesuatu yang seperti komposisi, pada sebagian besar puisi Indonesia hari ini, itu adalah sesuatu yang formulaik saja, yang hasilnya adalah puisi suasana, atau semacam imajisme semu, yang diganduli aku-lirik yang tidak lain ketimbang alter ego penyairnya sendiri. Singkatnya, puisi indonesia pada dasarnya masih bersifat romantik, di mana si penyair merasa bicara secara otentik, padahal dia sekadar memperalat—lebih tepat: diperalat—kosakata dan kosacitra yang baku-beku belaka. Sebenarnya ada persoalan teknis di sini, yang juga selalu saya katakan. Ibarat (bakal) pelukis, banyak penyair kita belum menguasai anatomi; jadi, ketimbang memiuhkan bentuk, “kesadaran puitik” mereka sudah terpiuh lebih dahulu.

(Pertanyaan: bagaimana puisi-prosa saya, yang menyembunyikan “kesempurnan bentuk” di bawah permukaan, bahkan mengulur-mengudar bentuk sama sekali—kecuali dalam permainan motifnya? Tampaknya perhatian anda lebih terarah pada puisi saya yang “tertib-bentuk”?)

Tentang situasi berjarak yang disebabkan oleh “kata-kata yang tidak biasa,” saya katakan bahwa masalah ini tentulah bukan-masalah lagi jika kita bandingkan, misalnya, dengan situasi membaca puisi dalam bahasa asing, yakni ketika kita hampir-hampir mencurigai seluruh perbendaharaan kita dan kita harus menggantungkan diri pada kamus. Atau, kalau Bung tak berkeberatan, ingatlah T.S. Eliot, misalnya, yang nyaris sama sekali mengasingkan pembacanya dengan berbagai acuan asing dan kutipan bahasa asingnya. (Eliot, sampai sekarang, tetaplah banyak diragukan. Borges, misalnya, dalam wawancaranya dengan Paris Review mengatakan bahwa puisi Eliot tidak berharga.) Jadi, sebenarnya tidak ada yang aneh dalam laku saya menggunakan “kata-kata yang tidak biasa,” kecuali kalau Bung menenggang kemiskinan-kata dalam puisi mutakhir kita. Kalau saya gunakan, misalnya, “mencekuh” dan bukan “merogoh,” itu karena saya memang tidak pas dengan fungsi “merogoh,” terutama dalam memberikan konotasi.

Tentang konsep dalam puisi, atau puisi yang berkonsep, saya harap Bung melihat sejumlah contoh ini: Eliot melakukan alusi terhadap berbagai tradisi dan pemikiran sastra; Wislawa Szymborska dan Zbigniew Herbert menjadikan puisi mereka sebagai alusi filsafat atau anti-filsafat; Rene Char menulis puisi-didaktik secara terselubung; Goenawan Mohamad gemar menyisipkan pernyataan filsafat ke tengah puisinya (“Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”; “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”, dan seterusnya). Dibandingkan puisi mereka semua, tentulah puisi saya sama sekali bukan puisi-konsep. Ataukah puisi saya hanya terlihat berkonsep karena saya menguarkan sikap sastra saya di luar itu? (Ah, maaf, Bung, banyak sekali yang melakukan over-reading terhadap wawancara saya dengan Ook Nugroho, yang termuat pada buku kecil peluncuran kitab puisi saya.)

Melani Budianta mengatakan bahwa membaca puisi saya membuat kita bertanya-tanya, siapa yang bicara, dari mana datang suaranya? Maka saya bertanya, di mana si penyair dalam sajak-sajak Jantung Lebah Ratu? Dugaan saya, Melani tidak lagi memilah sang penari dari tariannya, sesuai dengan “harapan” Yeats—dan, bukankah ini pembacaan yang ideal menurut anda? Sedangkan Bung, justru karena referensi Bung yang teramat luas—ataukah karena Bung terlalu melihat kiprah saya selaku editor-cum-komentator sastra sebelum terbitnya kitab puisi saya—masih berupaya mencari-cari di mana sang penari dalam tariannya. Walhasil, si penari atau si pengarang itu memang tidak pernah mati.

Bagaimanapun saya ingin melihat esai Bung itu terbit. Itu tentu merupakan sumbangan penting bagi “telaah sastra” kita yang dilumuri argumentum ad hominem dan sejenisnya.

Salam hangat untuk teman-teman di lingkaran diskusi Bung.

Senin, 27 April 2009

Intermezzo: Surat untuk U




(Mohon maaf kepada teman-teman yang menunggu lanjutan “Kitab dan Senjata (I)”: surat ini menyela penantian anda. “Kitab dan Senjata (II)” akan termuat setelah ini.)

Bung, pada status Facebook-mu kau menulis—tepatnya mengutip sebuah laporan—bahwa partainya Mas P menghabiskan dana lebih dari Rp 300 milyar untuk pemilu legislatif. Ada yang aneh dengan angka itu? Kalau Bung periksa, maka angka itu akan kecil sekali (tentu dengan nisbiah sekali!) bila terbanding dengan ongkos kampanye pemilihan presiden di negeri asing di mana Bung sedang belajar sekarang.

Masalahnya, siapa yang menanggung ongkos kampanye partai? Seharusnya, konstituen partai yang bersangkutan. Tapi ini tidak terjadi. Konstitituen kita bukannya melakukan iuran, malah minta disogok atau dibeli; paling tidak, mereka gampang dibujuk dengan periklanan. Inilah yang menjelaskan kenapa partai yang duitnya gede bisa dapat suara yang lumayan banyaknya. Lalu kita bertanya: dari mana partai mendapat duit sebanyak itu? Dari siapa lagi—kalau bukan dari pengusaha?

Bukannya saya mau bilang bahwa penguasaha dan orang kaya itu terlarang mendukung partai. Bukan. Mereka itu, seperti juga konstituen yang lain, menyumbang, bahkan menyumbang besar, tapi semua terjadi di atas meja, atawa di dalam koridor hukum. Dan itu terjadi di negeri asing di mana Bung sedang belajar sekarang. Tidak di negeri kita.

Di negeri kita, partai belum bisa menarik dana dari (bakal) konstituennya. Itulah yang membuat kenapa partai-partai besar masih juga bergantung pada pengusaha. Partai-partai kecil juga sama saja, namun “sayang sekali” mereka belum mampu ber-“nego.” Dan kita tahu kenapa partainya si Mas, yang baru berdiri itu, bisa beroleh suara yang lumayan banyak. Iklannya “kuat.”

Dan memang konstituen itu bisa dengan gampang dibeli. Maaf—berilah mereka songkok, sajadah, T-shirt, duit, dan seterusnya, lantas mereka akan mengangguk-anggukkan kepala kepada si partai atau si calon. Kalau mereka sedikit pintar, maka mereka gampang sekali terkena bujukan iklan. Para bakal pemilih kita tak ubahnya konsumen yang gamblang saja. Bung sudah tahu berapa biaya iklan? Misalnya saja, untuk iklan satu halaman penuh di gepok pertama koran K, kita harus membayar tidak kurang dari Rp 350 juta! (Nah, Bung sekarang tahu berapa banyak duit yang dipunyai partainya si presiden, yang sering pasang iklan di koran K halaman 1.)

Dan—kenapa Mbak M begitu gampang berunding dengan Mas P? Ah, masak Bung tak tahu sih? Persamaan mereka dalam soal nasionalisme? Ya tak-lah. Partainya si Mbak, yang konon besar itu, tidak punya dana untuk maju ke Pilpres. Yang punya dana jelas Mas P dengan partainya. Jadi massa partai si Mbak yang besar itu juga belum mampu iuran untuk menyokong si Mbak maju ke Pilpres. Dan begitulah si partai berlaku “pragmatis”. (Tentu saja, lebih aman kalau para pengusaha mendukung si presiden, yang partainya kali ini, bukan kebetulan, jadi partai teratas dalam perolehan suara legislatif. Ada juga Partai GK yang, sudah jelas, secara tradisional memang partainya kaum pengusaha.)

Bung tahu berapa dana yang diperlukan seseorang untuk maju ke Pilpres—jika pemilihan umum-nya “modern” kayak yang di negeri kita dan di negeri Bung di mana Bung belajar sekarang? Tanyalah kepada berbagai lembaga survai yang sekarang lagi ngetren di negeri kita. Jawabnya: antara Rp 500 milyar sampai Rp 1 trilyun. Lalu dari mana si calon dapat dana itu? Dari mana lagi—kalau bukan dari pengusaha? Lagi-lagi, konstituen tak mau (atau belum mampu) urunan. Dan dengan memberi duit sebanyak itu, pengusaha mau apa—Bung sudah tahu apa jawabnya. Maka, kalau si calon mau “menolak campur tangan penguasaha dalam politik,” dia harus mampu menggalang dana dari pendukungnya sendiri.

Jadi, Bung, memang perpolitikan di negeri kita sekarang ini lebih ilmiah dalam satu segi: lembaga-lembaga survai bisa menghitung berapa jauh popularitas & elektabilitas seorang calon, memikirkan bagaimana cara menaikkannya, menghitung ulang peluangnya dan sampai di mana puncak susksesnya—dan lantas menghitung berapa biayanya. Jadi, semuanya “rasional.” Calon bupati, calon gubernur, calon presiden, calon anggota parlemen—semua bisa dihitung angkanya. Sayangnya, dengan “rasionalitas” semacam ini, para konstituen tetap saja terkebelakang, irasional dan bisa dibeli.

Jadi, ketika si Mbak berunding dengan si Mas, semakin kita tahulah, bahwa banyak partai besar itu sebenarnya tak punya ide, ideologi, dan seterusnya—dan konstituennya ternyata cuma himpunan primordial saja. Hanya karena tak punya dana, maka sebuah partai bisa berlaku apa saja. Partainya si Mbak yang dimasuki—dengan harapan besar—oleh bekas anak-anak PRD (teman-teman kita, Bung!), mungkin sekarang harus ber-“koalisi” dengan partai yang dipimpin oleh bekas serdadu yang bukan hanya pernah menculik (dan menyiksa) anak-anak itu, tetapi juga mendukung sang patriark yang dulu menganiaya partainya si Mbak.

Ini kan lebih absurd daripada teater absurd, Bung?

Kamis, 16 April 2009

Pidato Menjelang Mati

(Ini bukan puisi, prosa-puisi, atawa sejenisnya. Mohon maaf.)

Tuan-tuan dan puan-puan. Terima kasih. Saya mau permisi dulu. Kuburan saya sudah siap. Si penggali kubur sudah selesai bekerja, dan menggerutu, “Kok dia nggak datang-datang sih.” Para pelayat sudah terlalu lama menunggu, dan mengeluh, “Kok dia nggak mati-mati? Mau ngapain dia?” Ya, ampun, hampir saja saya lupa kalau Maut sudah amat bosan menunggu saya; lihatlah, Dia tak lagi menakutkan, bahkan jubah hitam-Nya sudah mulai pudar. Ah, saya cuma membuang-buang waktu belaka. Sebab anda sekalian terlalu baik buat saya. Tapi sebelum saya dikuburkan, saya mau berterima kasih untuk segala pesan anda, terutama untuk kuliah yang baru saya terima, khususnya tentang ilmu komunikasi dan ilmu sastra. Sebagai seorang murid yang baik, saya harus berkomentar, biarpun nyawa saya sudah di sampai di mulut. Namun, agaknya, kematian saya tidak akan percuma; sebab, dengan dekonstruksi, kita bisa meragukan beda antara eksterioritas & interioritas, sejati & bikin-bikinan, lingkaran dalam & lingkaran luar, hujat & puji, amarah & birahi, esensi & representasi, jejak & kehadiran—dan tentu juga Facebook & the Book of the Dead, dan seterusnya, dan sebagainya. Jadi, kematian saya adalah juga kehidupan yang lain. Kebangkitan. Maka tertawalah, Guru. Sebab jika saya mati, saya tetap saja berada di mana-mana. Kematian saya adalah kehadiran saya: ke manapun anda lari, di situ ada saya. Atau, jika anda menghindar dari saya, justru anda masuk ke haribaan saya. Di mana pun engkau jatuhkan hujan-mu yang harum-sedap malam, itu pasti mengenai saya. Lupakanlah segenap kitab yang pernah kugubah, karena kitab-kitab itu sudah larut ke dalam urat-urat darahmu. Kau akan mendendam padaku dengan sepenuh cinta, kau akan menyayangiku dengan sedalam dendam-kesumat. Selamat tinggal, Pujaanku. Selamat datang, Buah Hatiku. Jangan memaafkan saya beserta segala apa yang pernah saya buat. Gelap dan terang, sama saja—rasakanlah sekarang. Suaraku menjadi suaramu. Permisi.

Padma Manusia (2)



Menumpuk dua bidang lukis, itu juga cara Alfi mengusik kita. Camkan Fight atau Gelut, misalnya. Bidang belakang yang terisi dua kerucut gunung hitam tipis mengambang di atas warna merah muda, sekonyong-konyong ditimpa dengan bidang depan putih: dua makhluk coklat dan hitam tengah bergulat, kaki salah satunya menjulur sampai ke bidang belakang. Dua pegulat ini tak meyakinkan sebagai manusia, mungkin mereka iblis, yang bagaikan bersaudara dengan sosok bayangan di bidang belakang. Kontras antara putih dengan merah muda, antara kepejalan dengan kemayaan, antara keorangan dengan kehantuan, mendedahkan sekali lagi daya yang meneror mata kita.

Jika Escher dan Margritte suka mengganggu dunia dengan karya mereka (yang pertama mengaduk perspektif, yang kedua mengacaukan lukisan dengan apa yang terlukis), maka Alfi merepotkan karyanya dengan bagian dari karyannya sendiri. Namun, pantaskah kita bertanya mana yang bagian dan mana yang seluruh? Dengan kata lain: karyanya hanya mirip lukisan, atau pura-pura menjadi lukisan.

Terkadang Alfi membiarkan kita hanyut dalam kekosongan. Tampaklah manusia terbaring di awan pada Melayang 1, tapi ia baru setengah selesai: ia kecil dan hilang-hilang timbul pada bidang gambar. Ia tak berjantina, maka kau boleh menyebutnya parodi terhadap sosok Odalisque atau Olympia, bahkan Wisnu dan Buddha terbaring yang terkenal itu. Sedangkan awan itu bukan awan, melainkan semacam ornamen yang belum rampung, mungkin motif ukiran Cina atau mega mendung batik Cirebon, boleh juga teratai yang bermetamorfosis. Semuanya dibiarkan tak lengkap, samar-samar, termasuk kerucut gunung yang tak meyakinkan itu, menyarankan bahwa apa yang kita lihat hanya maya jika bukan tipuan, menonjolkan rasa rawan, giris, kosong.

Lukisan ini mestilah berpasangan dengan Melayang 2, yang mencoba mengimbangi kehampaan itu dengan coreng-moreng tipis: warna dasar abu-abu dengan bercak (laburan, tempelan) kemerahan, kebiruan, hitam dan putih, lalu garis-garis lurus yang tak bersistem. Kita berusaha mencari-cari fokus di sini: sosok terbaring atau terbang itu seperti terputar 90 derajat, dan “melayang” atau “mengambang” pun menjadi “terikat”, “meleleh”, “berkubang”, atau “bertabrakan”. Rasa kosong itu adalah bagian dari disharmoni—atau sebaliknya. Tapi mungkin kita girang menemukan sejumlah sosok teratai, yang mengikat kita kembali dengan “nada dasar” himpunan lukisan Alfi.

Sesekali saya heran kenapa pelukis ini bisa juga cenderung kepada keheningan, kekhidmatan, dan kekosongan, seperti lelah dengan disharmoni dan keriuhan yang dikejarnya sendiri. Saya tersadar, ia mencoba melintasi titik jenuh (neo-)ekspresionisme: seakan ia mencoba mempercayai lagi tubuh yang nyaris habis atau remuk-redam termakan jerit, kesakitan dan histeria dalam kanvas Van Gogh, Munch, Dix, Bacon, De Kooning, dan Baselitz.

Kanvas Alfi mendedahkan rasa bosan dan lelah terhadap kegilaan itu. Tubuh harus diselamatkan, tapi layakkah ia dipercaya lagi? Itulah tubuh yang sulit menempatkan diri di antara benda-benda: atau materi inilah yang menolak takluk kepada kesadaran tubuh. Maka manusia—tubuh lengkap atau anggota tubuh—menjadi secebis sosok maya mirip kabut, bayangan, atau eter. Sosok yang mendekat atau hendak lenyap kepada hening dan kosong (dan dalam hal ini, Alfi mengingatkan kita kepada Francesco Clemente). Mungkinkah si teratai—satu-satunya organisme selain Homo sapiens sapiens—membantu kita sampai kepada ambang pembebasan ini?

Satu-satunya manusia yang meyakinkan dan layak dipercaya adalah diri Alfi, wajahnya sendiri. Diakah seorang Narsisus, pecinta diri yang gagal menyelamatkan manusia lain? Mungkin ia hanya peraih sisa kesempurnaan: anatomi dan faal seperti apa adanya, sewajar manusia. Wajahnya sahih, pejal, digambar dari samping, namun sungsang (mestinya tengadah, bukan?), terdesak kekosongan dan keluasan, mematung oleh nyala api putih atau kuncup teratai (Hang Down). Namun, sebagaimana Chatchai Puipia dan Agus Suwage, Alfi juga mendedahkan wajahnya yang mencoba memandang kita antara gamang dan garang, antara takut dan menakutkan, antara rela dan terpaksa, antara semangat dan sekarat. Seutas tali menusuk tembus telinganya, sementara di latar belakang kuntum-kuntum teratai seperti menjelma kobaran api (Kepala Dingin).

Dan Alfi melukis potret dirinya tanpa bola mata, menyarankan betapa sulitnya memandang, mencerap dunia kita. Hanya sekali ia melotot, (nah, kali ini biji matanya sempurna), wajahnya mencoba riang sekaligus ironis, seperti Groucho Marx, tapi dagunya terpotong, seakan ia hanya muncul sejenak di antara tenggelam yang kekal (Journey 10). Selebihnya, ia menggambar wajahnya seakan selubung, topeng, selaput, yang sekadar mampir pada dirinya, aku-nya: dan dua lukisan ini segera dicoret-moretnya pula, dan disandingkannya dengan foto dirinya dari samping dan belakang (seri Narsisofobia). Jelas ia bukan seorang Narsisus: ia justru pencuriga, pengkhianat diri. Ia melihat wajahnya sebagai derau (“noise,” begitu ditulisnya di kanvas), sumbang di antara rupa-rupa di dunia ini. Lalu dengan menyangkutkan dua lukisannya pada bidang kayu, ia seperti mengolok-olok karyanya sendiri.

Demikianla ia berbuat serong dengan—atau terhadap—karyanya sendiri. Ia memenuhi kita hanya dengan padma dan manusia ketika kita hampir menyerah kepada kalibut. Ia melukis: ia menodai lukisan: ia memurnikannya lagi. Didesaknya kita dengan coreng-moreng lalu ditariknya kita ke dalam hening dan kosong. Jumaldi Alfi Chaniago adalah paradoks itu sendiri: teratai yang menjelma api menjelma awan menjelma bayang-bayang. Wajah yang bersikeras menghibur namun juga mencacati diri. Tubuh yang berusaha utuh seraya meleleh. Belum juga lelah.

Minggu, 18 Januari 2009

Padma Manusia (1)


Hanya ada dua jenis makhluk dalam kanvas Jumaldi Alfi di pameran ini yang segera kita yakini wujudnya: teratai dan manusia. Selebihnya adalah benda-benda, atau lebih tepat anasir, yang tak mudah takluk kepada mata kita.

Teratai itu, misalnya, biru dan tampak hidup meski tak berdaun. Kelopaknya mekar wajar sebagaimana padma biasa, Nelumbo nucifera atau Nymphaea sp. Namun kita segera curiga: benarkah ia teratai? Tangkainya seutas tali yang lentur menjulur dari sebuah pinggan yang terisi cairan kuning. Sekilas pandang, ia berada pada sebuah ruang berdinding kuning tua dan berlantai kehijauan. Tapi sungguhkah ini sebuah ruang? Di bagian kiri kanvas, kita melihat gumpalan merah tua: seperti kaktus, balon, pantat, atau apa lagi? Di bagian atas, gumpalan hitam: cairan yang meleleh pada dinding, atau kabut yang hendak jatuh di tengah ruang.

Alfi mengganggu proses pencerapan kita dalam dua langkah. Mula-mula ia memaksa kita menerima “teratai” itu. Ingatan dan pengetahuan kita tak mungkin membuat kita menamai benda itu sebagai “mawar” atau “payung” misalnya. Tapi ia bukan “teratai” yang sempurna, bukan pula yang cacat. Sosok itu cuma ganjil: ia membengkokkan citra kita tentang si bunga. Lalu, pada langkah kedua, Alfi membuyarkan tangkapan trimatra kita. Gumpalan—atau sebut saja leleran, jika kau keberatan dengan kesan volumetriknya—merah tua dan hitam itu mengacaukan kesan latar depan dan belakang.

Teratai: kembang yang disucikan dalam khazanah Hindu dan Buddhisme. Alas duduk Wisnu dan Buddha. Bentuk dasar Borobudur dan pelbagai seni rupa keagamaan. Sulit saya menolak simbol warisan ini ketika saya menemukan teratai atau sosok-mirip-teratai dalam sejumlah lukisan Alfi. Apalagi lukisan yang barusan kita perbincangkan berjudul Spirit, judul yang membebani kita dengan perkaitan erat antara citra (teratai) dengan konsep (ruh, jiwa, semangat, arwah). Dengan ragu-ragu kita bertanya: jika Alfi mengulang-ulang citra (mirip) teratai itu, apakah ia tengah mendedahkan “ada” sebagai bagian dari “kosong”, “hadir” sebagai mata rantai “jelma” dan “moksa”?

Namun teratai Alfi boleh juga dianggap sebagai teratai main-main. Jauh dari keagungan dan kesucian. Mana ada itu teratai bertangkai benang, tumbuh dari air di baskom, kecuali jika si pelukis memanjakan sifat kanak-kanak atau isengnya? Marilah kita bersikap rileks belaka: lukisan Alfi hanya mirip lukisan, namun lebih dekat kepada corat-coret. Ia mengulangi terus citra teratai, dalam pelbagai warna, wujud, dan ukuran, lantaran ia menyukainya. Seperti bocah yang belum bosan kepada mainannya. Atau seperti penyair yang gemar menggunakan kata “kucing” atau “pisau”. Suatu kali teratai Alfi begitu kecil dan lembut, hampir lolos dari tatapan mata (Tanpa Judul); kali lain, begitu besar dan kasar, menjajah mata (Homage to The Unknown Artist—Kippenberger).

Corat-coret: namun benarkah si pelukis benar-benar spontan, edan, nakal, dalam mendedahkan dirinya? Journey 1-3, misalnya, sepintas terlihat sebagai coreng-moreng pada dinding: warna kusam atau pucat, sekalian dengan bercak seperti lumut atau jamur, leleran air dan noda, dan kelupas laburan, lalu coretan (atau torehan) kata dan tanda yang tak jelas artinya. Tapi, setelah kita mengatasi rasa jengkel kenapa lukisan bisa centang-perenang demikian, kita tahu Alfi seperti membatalkan—atau menyesali, katakanlah menyetimbangkan—kekacauan bentuk itu dengan semacam tertib. Dalam Journey 2, misalnya, kita dapati teratai, lalu sketsa perempuan mendeprok dalam anatomi yang baik.

Coreng-moreng itu mungkin upaya untuk mengganggu keseriusan lukisan, untuk merampas kita dari apa yang dianggap baik dan benar dalam kanvas. Tapi bukankah upaya demikian sudah menjadi salah satu arus penting dalam khazanah seni rupa dunia mutakhir? Tak sulit mengenali jejak, misalnya, Cy Twombly dan Jean-Michel Basquiat dalam Alfi. Torehan, corengan, leleran warna dan tetanda—baik yang terdorong kegilaan dan kepekaan urban dari Basquiat, maupun yang dilandasi sikap hati-hati dan pencarian ke masa klasik dari Twombly—terbawa nyata dalam karya pelukis kelahiran Lintau, Sumatera Barat, 1973 ini. Namun, kita segera melihat bedanya. Dibandingkan Basquiat, ia lebih hemat dalam mencorat-coret, juga warnanya lebih pucat dan teduh. Ia juga menolak kecenderungan monokrom dan “minimalisme” Twombly.

Dalam coreng-morengnya, terasa Alfi memainkan kesan tiga matra—hal yang tak terdapat dalam Twombly dan Basquiat. Sosok padma dalam Journey 9 dan tangan dalam Journey 4 sangat berkesan volumentrik: dan kita mungkin menuntut apa tak sebaiknya warna yang dominan itu menjadi latar belakang. Beranjak ke sejumlah lukisan lain yang sedikit banyak juga belepotan, kian terasa bahwa kombinasi warna dan garis itu tergarap sungguh-sungguh demi kedalaman dan keteduhan tertentu.

Warna biru (Journey 9), merah-oranye (Journey 7), coklat-ungu (Bijak) yang hemat barik itu mungkin saja memberi kita tamasya warna yang sama dengan lukisan abstrak. Namun begitu terhanyut dalam tualang itu, kita segera bertanya apa yang kita lihat sebenarnya. (Kau berkata, lukisan abstrak membuat kita terseret sepenuhnya, tanpa bertanya perihal representasi dalam kanvas.) Itu pojok dinding, begitu kita berkata barangkali tentang Journey 7, karena tiga garis bertemu, dan kita mengenali perspektif. Namun kesan ini segera longsor manakala kita menyadari adanya sehelai benang putih sungguhan terentang mahalurus. Lalu, segi tiga ceper yang hitam kabur—ah, tidak, ia bervolume juga, dan membungkus sosok (seperti) orang jongkok.

Ruang yang dikacaukan dengan bidang dan garis, demikianlah kita dapat berkata tentang watak lukisan Alfi. Pandang Homage to The Unknown Artists—O’Keefe, misalnya: wujud wungkul seperti patung—atau mekar seperti kembang (alegori terhadap si Georgia, bukan?)—berwarna kelabu, namun segera kebungaan atau kepatungan ini batal oleh garis merah lurus di tengahnya, lalu oleh gambar mirip tangga di puncaknya.

Lebih lanjut lagi, wujud-mirip-patung ini boleh jadi nampak seperti tempelan kertas pada latar belakang, alas, yang hitam transparan. Pada Bertepuk Sebelah Pantat, dua bokong beradu, tapi kita boleh mengira itu cuma gambar pada dinding. Ataukah pantat yang juga tampak sebagai dengkul itu terbuat dari semacam angin atau kabut yang segera lenyap? Dan rasa penasaran kita berkepanjangan lantaran terlihat sebuah telapak tangan putih yang membayang tipis entah di latar depan atau latar belakang. (Bersambung)

Selasa, 06 Januari 2009

Bukan Hanya Seni dan Birahi

(ditulis atas permintaan majalah Esquire Indonesia; dimuat pada edisi Januari 2009)

Kepada saya ditanyakan bagaimana masa depan kesenian kita jika kita jadi memiliki UU Pornografi yang karut-marut itu.

Benar, kesenian akan terkena dampak, namun kaum seniman pertama-tama tidaklah hendak membela kepentingan mereka sendiri. Mereka adalah warga negara yang menyadari bahwa dengan undang-undang itu, kreativitas bangsa kita akan terancam, kalau bukan susut sama sekali.

Kaum seniman berpendapat bahwa UU Pornografi tidak mencerminkan kesadaran hukum maupun tertib-hukum di satu pihak, dan mengabaikan kesadaran budaya di lain pihak.

Bila anda mengira seniman adalah orang yang suka mengumbar kebebasan diri-pribadi demi mencapai ketinggian mutu karyanya, maka anda keliru besar. Memang sudah lama kita dijajah oleh citra romantik bahwa seniman adalah (untuk mengutip kata-kata Chairil Anwar) semacam binatang jalang.

Sebaliknya, kesenian adalah sebuah disiplin. Tidak ada sastrawan yang akan menghasilkan sastra bermutu tinggi jika dia tak mempelajari hukum-hukum bahasa. Tidak ada pelukis yang mampu melukis cemerlang jika dia tak menguasai anatomi tubuh manusia. Dan tidak ada film yang enak ditonton jika sutradaranya mengabaikan teknik sinematografi.

Sebagaimana ilmuwan, seniman juga bersandar pada etika dan tradisi yang dibangun para pendahulunya. Mereka harus berdisiplin, supaya dapat menghasilkan bentuk yang terbaik. Mereka bereksperimen, untuk memecahkan kebekuan. Bila ilmu membuat kita lebih baik memahami alam, maka seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan.

Demikianlah, kesenian bukan hanya ekspresi pribadi si seniman, melainkan juga ekspresi sosial. Bersama puisi Chairil Anwar, bahasa Indonesia kita menjadi modern, menjadi bahasa yang hidup di abad 20. Bersama lukisan Affandi dan Sudjojono, kita melihat kembali perjalanan kebangsaan kita yang penuh godaan. Bila kita tak tak sempurna, kesenian tidak malu-malu mengungkap kembali cacat kita. Bila kita memang gemilang, kesenian menyajikannya kembali dengan tak terduga-duga.

Sementara itu, kesenian yang berakar ke masa lampau juga terus hidup, menjadi inspirasi bagi seni modern kita yang mendunia, sekaligus membuktikan bahwa puak-puak pendukungnya menyumbang tanpa henti dalam proses menjadi Indonesia.

Jika tidak ada bangsa tanpa kebudayaan, apa jadinya jika kita memiliki sebuah undang-undang yang justru menggerogoti sumber-sumber penciptaan budaya itu sendiri?

Itulah sebabnya kaum seniman dalam tiga tahun terakhir ini menyatukan diri ke dalam barisan yang menolak UU Pornografi.

Sungguh sukar dipercaya, para penyusun UU Pornografi sudah menjadi pornografer itu sendiri tanpa mereka sadari: mereka menciptakan situasi—atau mengangan-angankan—bahwa pornografi bisa muncul dari mana-mana kapan saja, bahkan dari khazanah yang tidak memungkinkan adanya pornografi. Tengoklah pasal 14, misalnya.

Menurut pasal tersebut, apa yang disebut “materi seksualitas” dapat dibuat, disebarluaskan, dan digunakan demi kepentingan seni dan budaya, adat istiadat dan ritual adat tradisional.

Sementara itu, dengan mengacu pada pasal-pasal lain, pasal 1 misalnya, kita dapat mengatakan bahwa apa yang disebut “materi seksualitas” itu tiada lain dan tiada bukan ketimbang pornografi itu sendiri.

Apakah yang kiranya mereka bayangkan sebagai materi seksualitas itu ketika merancang pasal yang menggelikan itu? Tubuh manusia telanjang dalam lukisan kontemporer? Adegan maha-mesra jantan-betina dalam sepotong novel? Lenggak-lenggok penari perempuan di atas panggung? Upacara pendewasaan dari sebuah puak di Indonesia Timur? Bahu terbuka sang mempelai dalam upacara perkawinan Jawa?

Demikianlah, para legislator itu telah merendahkan kaum seniman dan mereka yang menjalankan budaya daerah sebagai pengguna “materi seksualitas” alias pelaku pornografi—meski mereka harus dikecualikan dari warga negara biasa yang dianggap menjalankan pornografi tanpa alasan.

Tentu saja, para legislator itu telah keliru besar. Seorang pelukis, misalnya, yang menggarap anatomi—dan untuk ini ia harus menggunakan model telanjang, yakni proses yang wajar saja dalam sejarah kesenian di mana-mana—tidak dapat dikatakan menggunakan materi seksualitas. Persis seorang dokter, yang juga berurusan dengan ketelanjangan ketika bersoal-jawab dengan pasiennya.

Sementara itu, dalam berbagai kebudayaan lokal kita, tubuh itu suci. Itulah sebabnya masing-masing membangkitkan tata cara tersendiri untuk menyajikan kesucian itu. Menyinari dan menyingkapkan bagian tubuh tertentu, misalnya, justru memperlihatkan tubuh manusia sebagai cerminan kuasa ilahi. Sama sekali tidak ada “materi seksualitas” atau anasir pornografis di situ.

Buru-buru saya katakan di sini bahwa seniman bukanlah warga yang tidak bisa berbuat keliru. Mereka tahu bahwa mereka bisa melanggar hukum, namun tentu saja hukum tidak bisa didasarkan secara sewenang-wenang pada prinsip “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat” (pasal 1).

Apakah kita sudah begitu tumpul—tak mampu melihat lagi perbedaan antara masalah susila dengan hukum? Anak-anak kita dengan bebas membeli rokok dan minuman keras di warung dan toserba; para pelanggar lalu lintas bisa “berdamai” dengan pak polisi; dan para pejabat mencuri uang negara agar mereka bisa tampil mentereng. Semua itu pelanggaran hukum belaka, bukan pelanggaran tata susila. Dan para legislator itu masih juga mengatakan bahwa kita adalah bangsa dengan “kepribadian luhur”?

Saya menjamin bahwa seni tak akan lebur dalam ritual berpura-pura memiliki kepribadian luhur itu. Seperti telah saya katakan, seni membuat kita lebih berani mengolah kehidupan, termasuk mengenali kelemahan kita sendiri. Bertolak dari prinsip bahwa manusia jauh dari sempurna, seni menyatakan kritik dan cara pandang baru terhadap kehidupan. Dengan demikian, seni juga memelihara kreativitas sosial kita.

Karena itulah kaum seniman juga berjuang untuk tertib-hukum. Sebab hanya tertib-hukum yang menjamin kebebasan sipil, dan hanya kebebasan sipil yang menjamin kreativitas di segala bidang bidang. Karena itulah mereka menyatukan diri ke dalam barisan yang menentang UU Pornografi.

Para legislator itu tampaknya berhasil meyakinkah masyarakat, bahkan mungkin sebagian besar komponen masyarakat, bahwa siapapun yang menentang UU tersebut adalah mereka yang bejat akhlaknya, mendukung pornografi, dan membiarkan generasi muda terjerumus ke dalam lembah kecabulan.

Jelaslah kaum seniman menginginkan pornografi diberantas sampai ke akar-akarnya—tetapi tidak dengan sebuah undang-undang yang menyemaikan intoleransi, memangkas daya cipta masyarakat, dan membunuh kemajemukan.

Jika saya ditanya apakah UU Pornografi akan memiskinkan kesenian sekarang, maka saya akan menjawab tidak, sebab kaum seniman kita sekarang sudah terbiasa mengatasi keterbatasan, penindasan, dan berbagai belenggu yang lain. Mereka juga sudah piawai menciptakan metafor yang bisa mengatasi setiap sensor dan persekusi.

Jadi, jelaslah mereka tidak memperjuangkan kepentingan kesenian itu sendiri. Mereka tahu, misalnya, bahwa pasal 14 akan merusakkan kebebasan sipil dan kekayaan budaya itu sendiri. Merumuskan sebuah khazanah lokal sebagai memerlukan sarana “materi seksualitas” untuk kelangsungannya adalah etnosentrisme yang membahayakan.

UU Pornografi akan menyemaikan fundamentalisme di mana-mana: akan lebih banyak puak yang atas nama ikatan primordial mengekalkan apa yang mereka sebut nilai-nilai asli untuk melawan negara pembuat hukum yang telah merendahkan—seraya berpura-pura melindungi—“adat istiadat” dan “ritual tradisional” mereka.

Akan lebih marak lagi fundamentalisme yang demikian itu sebab UU Pornografi memberi peluang, berdasarkan pasal 21, bagi peran serta masyarakat dalam mencegah “pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.” Saya pastikan, pasal ini akan mendorong “masyarakat”—yang masih harus banyak belajar tentang hak asasi manusia—mengambil alih peran penegak hukum, dan melakukan “pencegahan” dengan cara yang brutal. Demikianlah, konflik antar-puak, yang bersikeras mengekalkan tata nilai masing-masing itu, akan semakin terbuka.

UU Pornografi bukan sekadar tidak menjamin keadilan, kesetaraan dan tertib hukum. Ia juga perlahan-lahan mematikan sumber-sumber kreativitas kita berdasarkan asas palsu bahwa bangsa kita punya kepribadian luhur. Masya Allah!