Selasa, 12 Mei 2009

Intermezzo: Surat untuk B



(Mohon maaf. Surat ini menyela penantian anda, sidang pembaca, akan lanjutan Kitab dan Senjata, yang nomor keempatnya akan terunggah segera setelah ini.)

Bung, saya urung mengirim-teruskan tulisan anda ke rekan-rekan terpercaya saya; sebab, terus terang saja, saya khawatir mereka akan “mendahului” (atau “mencuri”) gagasan anda. Kalau tulisan anda sampai ke tangan beberapa orang sebelum ia terbit, saya harap anda sendirilah yang menyebarkannya. Saya kira, sampai surat ini ditulis, tulisan Bung adalah telaah paling serius terhadap kitab puisi saya, maka wajar kiranya banyak orang akan cemburu terhadap tulisan anda, dan berusaha “melebihi”-nya.

Sejumlah telaah terhadap kitab puisi saya, baik yang sudah terbit di media massa maupun beredar di internet, lebih banyak berupa tembakan berbau ad hominem. Atau, paling kurang, para “pengulas” itu menghubungkan puisi saya dengan apa yang pernah keluar dari mulut saya (maka, mulut saya pun mereka buat lebih menonjol ketimbang kekaryaan saya). Ada, misalnya, telaah yang berusaha menghubungkan puisi saya dengan “puisi dunia,” tapi ketika saya bertanya langsung kepada si pengulas, kenapa ia begitu ragu-ragu menilai, ia menjawab, kurang lebih sebagai berikut, “Saya harus berhati-hati supaya saya tak dianggap bagian dari lingkaran Bung.”

Lingkaran saya? Sejak kapan saya punya lingkaran atau komplotan? Jadi, begitulah, Bung, lagi-lagi “pertimbangan” ad hominem. Tampaknya mereka takut, atau belum kunjung masuk ke dalam puisi saya. Belum mampu membunuh si pengarang. Hanya “merasa-rasai” puisinya belaka (bahasa Jawa: ngrasani).

Saya sudah ceritakan perihal tulisan anda ke H saja, yang selalu saya katakan sebagai salah satu pengamat puisi terbaik di negeri kita; sayang, sayang sekali ia tidak menulis, ia hanya seorang komentator yang tajam di lingkaran lisan teman-teman saya. Jika ia berminat, saya harap ia meminta langsung tulisan itu ke anda (saya berikan akun email anda ke ia).

Saya sendiri membaca tulisan anda lagi dan lagi, dan ini tentulah menggugah saya berpikir lagi tentang puisi. (Tentu, terhadap kitab puisi saya sendiri, saya hanya bisa berdiri sebagai salah satu pembaca belaka.) Ada banyak hal menarik dari paparan anda yang layak didiskusikan di kalangan pembaca kritis kita, antara lain beberapa butir berikut ini—

Tentang kesempurnaan bentuk dan komposisi, saya ingin mengatakan bahwa sebagian besar puisi indonesia (terutama dalam tiga dasawarsa terakhir) sama sekali tidak inderawi, tidak sensual—tidak menampilkan pengalaman kebertubuhan—karena mengabaikan bentuk, atau terlalu percaya pada “kebebasan bentuk.” (Saya sudah katakan berkali-kali, bahwa kebebasan mencipta itu tidak ada, kecuali kalau ia dipahami dalam lingkup disiplin seni. Kaum surrealis tak terkecuali. Automatic writing itu cara, bukan tujuan. Automatic writing dilaksanakan kaum surrealis untuk mendapatkan jukstaposisi maksimal, sementara dalam penyusunan kalimat mereka itu tertib sekali. Jadi, Bung, sejumlah orang yang mengira saya emoh pada licentia poetica itu keliru sama sekali; oh, maaf, mereka harus belajar membaca lagi.)

Kalaupun ada komposisi, atau sesuatu yang seperti komposisi, pada sebagian besar puisi Indonesia hari ini, itu adalah sesuatu yang formulaik saja, yang hasilnya adalah puisi suasana, atau semacam imajisme semu, yang diganduli aku-lirik yang tidak lain ketimbang alter ego penyairnya sendiri. Singkatnya, puisi indonesia pada dasarnya masih bersifat romantik, di mana si penyair merasa bicara secara otentik, padahal dia sekadar memperalat—lebih tepat: diperalat—kosakata dan kosacitra yang baku-beku belaka. Sebenarnya ada persoalan teknis di sini, yang juga selalu saya katakan. Ibarat (bakal) pelukis, banyak penyair kita belum menguasai anatomi; jadi, ketimbang memiuhkan bentuk, “kesadaran puitik” mereka sudah terpiuh lebih dahulu.

(Pertanyaan: bagaimana puisi-prosa saya, yang menyembunyikan “kesempurnan bentuk” di bawah permukaan, bahkan mengulur-mengudar bentuk sama sekali—kecuali dalam permainan motifnya? Tampaknya perhatian anda lebih terarah pada puisi saya yang “tertib-bentuk”?)

Tentang situasi berjarak yang disebabkan oleh “kata-kata yang tidak biasa,” saya katakan bahwa masalah ini tentulah bukan-masalah lagi jika kita bandingkan, misalnya, dengan situasi membaca puisi dalam bahasa asing, yakni ketika kita hampir-hampir mencurigai seluruh perbendaharaan kita dan kita harus menggantungkan diri pada kamus. Atau, kalau Bung tak berkeberatan, ingatlah T.S. Eliot, misalnya, yang nyaris sama sekali mengasingkan pembacanya dengan berbagai acuan asing dan kutipan bahasa asingnya. (Eliot, sampai sekarang, tetaplah banyak diragukan. Borges, misalnya, dalam wawancaranya dengan Paris Review mengatakan bahwa puisi Eliot tidak berharga.) Jadi, sebenarnya tidak ada yang aneh dalam laku saya menggunakan “kata-kata yang tidak biasa,” kecuali kalau Bung menenggang kemiskinan-kata dalam puisi mutakhir kita. Kalau saya gunakan, misalnya, “mencekuh” dan bukan “merogoh,” itu karena saya memang tidak pas dengan fungsi “merogoh,” terutama dalam memberikan konotasi.

Tentang konsep dalam puisi, atau puisi yang berkonsep, saya harap Bung melihat sejumlah contoh ini: Eliot melakukan alusi terhadap berbagai tradisi dan pemikiran sastra; Wislawa Szymborska dan Zbigniew Herbert menjadikan puisi mereka sebagai alusi filsafat atau anti-filsafat; Rene Char menulis puisi-didaktik secara terselubung; Goenawan Mohamad gemar menyisipkan pernyataan filsafat ke tengah puisinya (“Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?”; “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”, dan seterusnya). Dibandingkan puisi mereka semua, tentulah puisi saya sama sekali bukan puisi-konsep. Ataukah puisi saya hanya terlihat berkonsep karena saya menguarkan sikap sastra saya di luar itu? (Ah, maaf, Bung, banyak sekali yang melakukan over-reading terhadap wawancara saya dengan Ook Nugroho, yang termuat pada buku kecil peluncuran kitab puisi saya.)

Melani Budianta mengatakan bahwa membaca puisi saya membuat kita bertanya-tanya, siapa yang bicara, dari mana datang suaranya? Maka saya bertanya, di mana si penyair dalam sajak-sajak Jantung Lebah Ratu? Dugaan saya, Melani tidak lagi memilah sang penari dari tariannya, sesuai dengan “harapan” Yeats—dan, bukankah ini pembacaan yang ideal menurut anda? Sedangkan Bung, justru karena referensi Bung yang teramat luas—ataukah karena Bung terlalu melihat kiprah saya selaku editor-cum-komentator sastra sebelum terbitnya kitab puisi saya—masih berupaya mencari-cari di mana sang penari dalam tariannya. Walhasil, si penari atau si pengarang itu memang tidak pernah mati.

Bagaimanapun saya ingin melihat esai Bung itu terbit. Itu tentu merupakan sumbangan penting bagi “telaah sastra” kita yang dilumuri argumentum ad hominem dan sejenisnya.

Salam hangat untuk teman-teman di lingkaran diskusi Bung.