Senin, 01 Juni 2009

Intermezzo: Naik Haji, Naik Kelapa


Bahasa kita punya cara yang nyaris ajaib dalam menciptakan frase yang tampaknya saja mudah dipahami. Frase yang saya maksud adalah gabungan dua kata, katakerja dan katabenda, misalnya saja “naik haji.” Dalam kesempatan ini saya akan menggamit sejumlah frase yang mengandung “naik.”

Tentu saja, “mudah dipahami” berarti semua orang bersepakat tentang artinya. “Naik haji,” misalnya, tidak mengandung arti lain. Tidak juga kita peduli apakah frase itu menyalahi kaidah nahu.

Tapi apakah anda tahu apa itu “naik kelapa”? Ini adalah ungkapan yang banyak dipakai di Sumatra atau wilayah-wilayah lain yang terkena pengaruh bahasa Melayu. Dan kalau anda tidak akrab dengan pohon kelapa atau kebun kelapa, anda tak paham apa arti frase itu.

“Naik kelapa” adalah naik ke—atau menaiki—pohon kelapa. Tentu saja, tindakan ini bertujuan. Yaitu, untuk memetik buah kelapa.

Lebih gamblang lagi, “naik kelapa” adalah pemendekan “naik ke pohon kelapa untuk memetik buah kelapa.” Kita lihat, di sini terjadi penghapusan beberapa kata, juga awalan dan akhiran.

Tentang “naik gunung” kita tak bertanya lagi, meski itu seharusnya berbunyi “naik ke gunung” atau “menaiki gunung.” Jelaslah, di sini ada penghapusan awalan “me” dan akhiran “i” atau kata “ke.”

Bagaimana dengan “naik haji”? Mungkin, karena kita sudah sama-sama mengerti—tepatnya, menyepakati—artinya, kita akan mudah menelusuri duduk perkaranya. Ternyata tidak. Frase ini jelas bukan pemendekan “menaiki haji” atau “menaikkan haji.”

Kalau kita pertimbangkan segi keagamaan, maka “naik haji” boleh berasal dari “naik ke rukun Islam yang paling tinggi, menunaikan ibadah haji.” Kata “naik” bisa juga mengandung makna “naiknya kadar iman,” juga “naiknya status sosial” seseorang yang berhaji. Tapi saya curiga, bahwa frase “naik haji” tercipta pada masa yang lalu ketika orang masih harus “naik kapal” untuk melaksanakan ibadah haji.

Atau “naik” bisa juga berhubungan dengan posisi Nusantara terhadap Saudi Arabia. Pergi ke Mekah adalah pergi ke arah utara, tepatnya utara-barat (barat laut). Dan dalam peta, utara itu ada di atas. Jadi, “naik haji” adalah “naik ke Mekah, untuk berhaji.” Atau, dengan konotasi religius, maka pergi ke Mekah itu adalah berangkat—meningkat secara ruhaniah—dari arah bawah (Nusantara, yang bukan tanah suci, yang sekadar punya Serambi Mekah) ke atas, ke Kota Suci.

Kalau orang bilang “penyanyi itu sedang naik daun,” maka kita sudah paham maksudnya. Tapi saya bertanya, dari mana itu frase “naik daun”? Si penyanyi sudah pasti penyanyi baru, atau penyanyi muda. (Tidak ada penyanyi tua yang dikatakan “naik daun.”) Mungkin ia mirip kuncup daun, atau daun muda: daun yang sedang mekar. Tapi, ke arah mana si daun tumbuh—ke samping atau ke atas?

Ya, tentu saja kita bisa membayang-bayangkan bahwa daun tumbuh ke arah atas—tapi bukan selembar daun, melainkan himpunan daun dalam sebatang pohon. Jadi “naik daun” boleh jadi adalah representasi dari si pohon, pohon muda, yang tumbuh terus ke arah atas, seperti naik ke langit, guna mencapai kedewasaan. Seperti juga si penyanyi.

Atau, kalau kita berani berspekulasi, “naik daun” itu bisa juga setara dengan “naik gunung.” Maka, “naik daun” adalah “menaiki daun.” Lantas kita mafhum, bahwa yang suka naik ke daun-daun itu adalah ulat. Akhirnya kita tercenung, apakah si penyanyi itu seperti ulat. Imut-imut, tapi juga bikin gatal. Bikin gatal tapi perlu.

Tapi ada mungkin di antara anda yang berkata bahwa “naik daun” itu memang ungkapan dari daerah tertentu yang sudah diterima oleh penutur bahasa Indonesia. Ungkapan yang menunjuk kiprah si Polan naik menuju ketenaran dan kejayaan. (Adapun mereka yang menggunakan “naik kelapa," punya juga “naik rumah baru”—housewarming, kata penutur Inggris.)

Sementara itu, meski ada “turun gunung,” kita tahu tak ada “turun daun” dan “turun kelapa.” Tapi, paling tidak, kita tahu betapa tak sederhananya asal-usul frase-dua-kata dalam bahasa kita. Mungkin kita, selaku pengguna bahasa, harus segera “turun mesin.” Kalau tidak, kita tak bisa “naik kelas,” apalagi “naik pangkat.”