Senin, 15 Februari 2010

Budi (1)


Sering saya bertanya-tanya, di manakah kini ketrampilan menggambar wujud, khususnya tubuh dan wajah manusia, lebih khusus lagi wajah sendiri. Memudarnya ketrampilan ini, dari satu sisi, pernah dipercayai sebagai pudarnya aura seniman-pencipta; dan, dari sisi lain, adalah makin kerasnya ejekan terhadap seni lukis (beserta “seni murni” yang lain). Memang kita masih melihat potret diri, misalnya yang dibuat Agus Suwage dan, pada masa sebelumnya, tubuh manusia pada kanvas Dede Eri Supria. Tetapi kedua pelukis ini menyalin—atau “mengeblat”—foto, sungguh lain dari Sudjojono, Trubus, atau Affandi, misalnya, yang mencuri langsung dari dunia nyata.

Tapi konon kini tak ada lagi dunia nyata: semua hanya jalinan tanda, jalinan simulakra. Konon kini seniman hanya mengutip, bukan mencipta. Di mana-mana modernisme telah dikutuk, juga di tanah air kita: tak sedikit yang berkata bahwa pengarang (pencipta) telah mati (saya tambahkan: kecuali hak ciptanya, seluruh laba yang tumbuh dari karyanya). Kaum senirupawan kini, seraya menyebut dirinya perupa, mencibir jiwa tampak, cap jari, dan orisinalitas, tapi sayang sekali mereka tetaplah individu yang tak tergoyahkan di tengah medan sosial seni. Tidakkah semua itu lebih menyatakan hilangnya ketrampilan, craftsmanship, ketimbangan penentangan terhadap modernisme yang pernah berkuasa itu?

Atau mungkin seni selalu harus diletakkan dalam tanda kutip: suatu ranah yang batas-batasnya harus selalu dicairkan, bukan dibekukan. Sang perupa selalu dihantui materialitas: dan materi itu, medium seni itu, selalu tak cukup sebagai representasi realitas: ia harus menjadi realitas itu sendiri. Berbeda dengan sastra, misalnya: kaum sastrawan tak bisa keluar dari mediumnya; apa yang disebut realitas hanya—dan melulu—hadir dalam rumah penjara bahasa, the prison house of language. Tetapi seni rupa menolak untuk tinggal di dalam batasnya sendiri: ia ingin melebur ke dunia; meski tetaplah ia kecil, dan paling banter ia hanya akan bersifat setengah-publik saja.

Karya-karya Budi Kustarto seakan menggemakan kembali pelbagai pertanyaan di atas. Tubuh dirinya yang berwarna tunggal, hijau, melayang di ruang kosong—sepintas-lalu seperti hasil foto yang dimanipulasikan secara digital. Di sini ukuran dan tempat pajang menjadi sangat penting. Setara dengan itu barangkali adalah sejumlah bilbor iklan yang menampilkan tubuh dan wajah (yang juga telah dimanipulasikan), tetapi yang tak lagi mengejutkan kita. Berbagai patung dan lukisan Budi Kustarto tampaknya masih berusaha mengejutkan kita dengan repetisi bentuknya—berbagai variasi dari potret dirinya. Namun kualitas kehadiran dirinya yang terlalu biasa, meski ia telanjang, malah menipiskan upaya kejut-mengejutkan itu. Maka repetisi pun dalam kekaryaan Budi Kustarto mungkin menjadi meta-ironi, yaitu ironi tentang ironi, ya, sebab sudah terlalu banyak yang membuat ironi dengan mencibir diri sendiri, misalnya saja yang kita lihat pada sejumlah potret diri Agus Suwage dan Chatchai Puipia dan para epigon mereka. (bersambung)