Sabtu, 13 November 2010

Kobra


Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika seorang pelangganmu bertanya, “Mana yang paling baik untuk mematikan seekor kuda hitam?”

Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang memuntahkan bisa ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak dan mengagumi leherku mengembang serupa perisai.

Kecuali cerpelai, yang sangat suka membaca, sesiapa akan buta jika matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah bahwa bekas lawan yang kutaklukkan tak pernah buta, mereka sekadar lupa betapa aku suka memangsa sesamaku.

Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya aku hanya mengasihani mereka, sebab mereka hanya suka melata, dan sesiapa yang melata hanya menjadi bayang-bayangku, kembaranku, yang hanya akan menghalangi jalanku ke kota.

Percayalah, aku melenyapkan bayang-bayangku dengan bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, betapapun tampan-jelita ia.

Dari si cerpelai diam-diam aku belajar menari tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku terbang ke angkasa.

Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remuk-redam (namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan terwelu, sampai seorang penyair menangkapku.

Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliuk-liuk di dekat wajahnya, untuk sekadar menggirangkannya belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti bayangan bulan sabit muda di hutan dahulu.

Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan aku sedikit terbebas dari birahi (sungguh, kami sering berpentas di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bisa menjadi bintang di kota yang sedih ini).

Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ke tokomu, ia bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak sekali taring, bisa dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di pelananya sudah duduklah istrimu, sungguh, aku tak berdusta.

Ketika kuceritakan semua ini, taringku sudah berkarat, lidahku mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi lingkaran sempurna, namun jelaslah bahwa semua peribahasa sudah kedaluarsa, pun sia-sia belaka jika kau menuduhku penggoda atau pendusta, dan ternyatalah tokomu lebih layak disebut menara gading atau perpustakaan.

Malam ini pada lidahku akan kaudapati sebutir manikam biru berkilauan, ambillah, jangan takut, kau bukanlah musuhku, sungguh, ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah kota terbelit atau terpatuk oleh istrimu, tapi janganlah kauburu sang penyair yang sedang membeli nasi gurih dan Kitab Lebah Ratu santapanku, sungguh, ia hanya hendak menggirangkanku sekali ini saja.

(Buli-Buli Lima Kaki, hal. 18-21)